Human, Girl, Daydreamer

Tuesday, September 11, 2018

Cerita Thriller/Misteri: Mission (re-upload)


“Namanya Alvin Jeremy.”
Manik coklat gelap itu menatap lekat-lekat selembar foto di tangannya. Sementara telinganya terfokus pada kata demi kata yang terlontar dari mulut sang Ayah, Ayah kandungnya.
“Dengarkan...”
Gadis itu mendongak. Menampakkan wajah cantik menawannya yang terlihat siluet akibat sinar matahari sore merambat lurus menembus jendela besar di sampingnya. Angin yang berhembus-hembus nakal menyelonong masuk dari celah jendela, menggerakkan mahkota kepalanya yang terikat satu dengan asal.
Manik matanya yang coklat gelap sangat cocok bersanding dengan hidung kecil namun mancung, dengan bibir delima berwarna merah pekat bagai darah, dan dengan kulit putih yang kelewat putih —yang justru menunjukkan kesan pucat. Wajahnya datar dengan tatapan yang kian menajam. Namun, tetap tidak menenggelamkan paras cantik milik gadis bercardigan hitam saat ini.
Lelaki paruh baya di belakang meja bundar itu menyeringai, menantang tatapan tajam ‘Putri Kesayangannya’ . Meski itu setajam pedang bermata dua, tetap tak berarti apapun baginya. Ia sangat paham,  putrinya ini seorang yang kooperatif.
“Dekati dia.”
Matanya kembali menatap foto di tangannya. Dia, seorang Alvin Jeremy.
“Mengendaplah dalam hidupnya.”
Lelaki bermata sedikit sipit, dengan manik hitam pekat menghuni di dalamnya.
“Curi dan genggam hatinya.”
Hidungnya yang mancung. Bibirnya yang tipis. Dengan paras oriental berkulit putih.
“Kemudian...”
Ini tak dapat dipungkiri, dia sangat tampan.
WUSSHHHH
“...Bunuh dia tepat di jantungnya.”
***
Mission
***
Wajahnya tampak tenang. Begitupun dengan langkah kaki jenjangnya yang tertutupi jeans berwarna hitam. Dibahunya tersampir tas selempang berwarna Baby Blue, sementara tangannya memeluk beberapa buku tepat di depan dada.
Seperti biasa, coklat gelap itu menatap dengan awas apapun yang ada di sekitarnya, berusaha menyembunyikan ketajaman itu rapat-rapat. Dalam telinganya, sebuah pesan yang ia terima pagi ini terputar kembali. Seolah mengingatkannya agar tidak lupa. Tidak lengah. Tidak salah langkah.
Dia menghela napas sebentar, kemudian beralih menatap jam tangannya. Dan setelahnya ia mempercepat langkahnya.
BRUUUKK
Dua tubuh manusia itu berbenturan, saling menjauh lagi dan terjatuh bersamaan dalam seperkian detik. Buku dalam pelukannya berserakan, yang kemudian dengan sigap telah tersusun lagi dalam pelukannya. Satu buku lagi yang belum ia ambil, dan buku itu berada tepat di depan sepasang sepatu, dengan sang empunya yang nampak sudah berdiri lebih dulu selepas insiden barusan.
Gadis itu segera mengambilnya dan menaruhnya dalam pelukannya. Buru-buru ia berdiri, mendongak untuk melihat pelaku —atau korban?— dalam Insiden yang baru saja terjadi. Tangan kirinya menyibak poninya sejenak sebelum akhirnya menumbukan coklap gelapnya pada sepasang hitam pekat di hadapannya.
Hidung kecil namun mancung itu menahan napas kala mendapati apa yang ia lihat dengan kepala matanya sendiri. Lelaki bermata sedikit sipit, dengan manik hitam pekat menghuni di dalamnya. Hidungnya yang mancung. Bibirnya yang tipis. Dengan paras oriental berkulit putih.
Alvin Jeremy.
Keduanya terdiam cukup lama. Tak ada yang berani menginterupsi duluan. Desah angin di sekitar mencoba mengajak mereka mengeluarkan suara, sayangnya sia-sia. Bungkam seribu bahasa, namun mata mereka seolah saling berbicara. Meski tak ada Doraemon dengan mesin waktunya sekarang, tapi mereka seperti merasa waktu terhenti cukup lama. Cukup lama hingga sepertinya kebisuan ini harus segera berakhir.
“Ehm... Maaf aku tidak sengaja.” Lelaki itu menggaruk tengkuknya. “Sekali lagi maaf rrr...siapa namamu?”
Gadis itu menghembuskan napas panjang. Matanya bergerak-gerak gugup meski wajahnya tetap datar, sama sekali tak kunjung berubah. Ada yang aneh di sini.
“Shilla, Ferly Ashilla.”
“Ah, maaf Shilla. Namaku, Alvin Jeremy.”
Shilla meneliti sosok di hadapannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Alvin Jeremy, Shilla sudah mengetahuinya lebih dulu. Bahkan seluk beluk Alvin yang tak terpublish juga sudah ia pahami. Alvin Jeremy, Mahasiswa semester 3 jurusan Managemen Bisnis. Alvin Jeremy, anak tunggal dari pasangan Tuan dan Nyonya Jeremy. Alvin Jeremy, Pewaris tunggal bisnis keluarga Jeremy. Alvin Jeremy, lelaki yang lebih suka menganggap dirinya sebagai ‘anak-ayahnya’ daripada ‘anak-Tuan-Jeremy-Pebisnis-Sukses-Nan-Terkenal’, dia tidak sombong dan sederhana. Itu hanya sebagian yang akan disebutkan, sementara sisanya lebih baik ditulis daripada disebutkan.
“Permisi?” Tangan Alvin berkibas di depan wajah Shilla. Gadis itu tersentak bersama dengan pemikirannya yang amburadul seketika. Wajahnya masih datar, meski pada nyatanya ia merutuk dalam hati atas kebodohannya.
“Ah-Oh-Iya, tidak masalah, mmm...Alvin.”
Tangan Alvin mundur dari posisinya, kemudian beralih pada tengkuknya untuk sekedar menggaruknya meski itu tidak gatal. Seulas senyum bersahabat terulas di wajah Alvin. Shilla terpana untuk sejenak. Hanya sejenak, karena detik berikutnya ia buru-buru menyadarkan diri.
“Salam kenal, Shilla.”
“Ya.”
***
Kedua mata Shilla fokus memperhatikan jajaran buku di hadapannya. Sesekali  diambilnya salah satu buku di sana, kemudian ditaruhnya kembali dengan senyum miris. Dulu Shilla bercita-cita ingin menjadi dokter, sama seperti kebanyakan cita-cita anak sebayanya. Kenapa? Karena ia ingin menyembuhkan teman-temannya? Tidak juga. Shilla dulu punya Ibu, iya, dulu sekali ketika ia masih belajar di taman kanak-kanak. Ia memang masih kecil kala itu, tapi bukan berarti ia bisa dibodohi. Ia bahkan mengetahui penyebab kematian ibunya. Ibunya yang ternyata lebih dulu pergi sebelum ia berhasil menjadi dokter.
Lantas, apa setelah itu cita-citanya sirna? Tidak. Tidak sama sekali. Justru karena itu ia semakin ingin menjadi seorang dokter. Menyembuhkan orang-orang, agar bisa membuat ibunya bangga padanya. Tapi...dalam perjalanan waktu, lingkungan sekitarnya justru membentuknya menjadi pribadi yang melenceng dari harapan awal. Mengingat ia sekarang menjadi apa justru membuat ia merasa  miris. Keinginan tidak sesuai kenyataan.
Ini buku keempat yang Shilla ambil, dan pada akhirnya bernasib sama dengan yang sebelumnya —kembali ke tempat semula tanpa sempat dibaca. Percuma saja, pikirnya. Nasi telah menjadi bubur, arang telah menjadi abu, semuanya sudah menjadi hal yang tabu. Tak dapat kembali seperti semula dan menjadi sesuai harapan. Begitu kan siklusnya?
Ia membalik badan. Matanya membulat dan nafasnya tertahan seketika ketika puncak kepalanya terantuk dagu dengan rahang yang tegas. Shilla menghembuskan napas sebentar sebelum akhirnya mendongak. Alvin Jeremy.
“Aku sedang mencarikan buku tentang kedokteran untuk temanku. Hari ini dia tidak masuk, hah... merepotkan. Kamu sendiri sedang apa?”
Shilla mengangkat wajahnya, coklat gelapnya bersibobrok dengan si onyx. “Tidak ada, hanya sedang ingin kemari.”
Entah bagaimana bisa, setelah Shilla mengetahui sosok si pemilik dagu itu adalah Alvin, mereka jadi duduk berhadapan di meja perpustakaan dekat jendela. Tak ada buku menemani mereka, hanya mengobrol ringan di perpustakaan. Mungkin tak ada salahnya menyalahgunakan fungsi perpustakaan. Ah, benarkah begitu?
***
Katakan bahwa telinganya salah mendengar. Katakan bahwa nefronnya tidak sedang berfungsi dengan baik. Katakan bahwa tubuhnya sedang dalam bayang-bayang mimpi. Katakan sekarang!
Ia menoleh cepat pada sosok di sampingnya. Wajah oriental itu menghadap lurus dengan matahari yang tengah beranjak ke peraduan. Semburat jingga menimpa wajahnya dengan indah. Angin laut mengisi suasana di antaranya. Jadi, untuk ini Alvin mengajaknya ke pantai?
Shilla sungguh jelas merasakan dadanya bergemuruh. Darahnya memanas, dan terasa paling panas di sekitar daerah wajahnya. Hatinya berdesir seirama dengan detak jantungnya yang berdetak cepat. Tidak, ini salah! Tidah seharusnya Shilla begini! Ini aneh! Demi apapun, bahkan baru 4 bulan setelah pertemuan mereka.
“A-a-apa?” Shilla tergagap. Shilla telah lupa dan ia lengah.
“Aku mencintaimu, Shilla. Jadilah kekasihku?” Alvin menoleh dengan seulas senyum menawan.
Jangan menoleh. Tidak! Atau kau akan lupa, lengah dan kemudian salah langkah. Shilla mati-matian untuk menahan hasratnya agar tidak menoleh. Jangan lagi lupa dan juga lengah apalagi salah langkah. Sesuatu dalam diri Shilla sudah terlalalu jauh.
Manik coklat gelap Shilla perlahan tertutup oleh kelopak mata Shilla. Ia mencoba berfikir jernih dalam pejaman matanya. Semuanya harus dipikirkan matang-matang. Jangan lagi salah, Shilla. ingat tujuan Awal. Mati-matian Shilla memperingatkan dirinya.
“Baiklah.”
Senyum Alvin terkembang lebar. Benarkah cintanya terbalas? Shilla telah menjadi kekasihnya?
“Aku mencintaimu.”
“Ya.”
Tidak ada balasan, meski Shilla ingin, sama sekali tidak ada. Hanya menanggapi dan setidaknya itu cukup. Shilla sudah terlalu jauh salah langkah. Jangan melangkah lebih jauh lagi.
Tidak dan semuanya aman.
***
CUP
Seperti biasa, Shilla masih bertahan di balik topeng datarnya ketika Alvin mendaratkan kecupan ringan di pucuk kepalanya. Sementara Alvin tetap mengulas senyum. Bohong jika Alvin tidak sadar, sejak awal ia sudah merasa ada yang aneh dari Shilla. Ia jelas merasakan itu. Toh, pada akhirnya ia tetap tidak peduli pada apapun. Shilla menjadi kekasihnya, itu sudah cukup. Alvin tidak menuntut balas apapun atas rasa cintanya.
Jika memang Shilla belum —atau mungkin tidak?— mencintainya, bagi Alvin ini mudah. Sama halnya seperti menanam. Cinta seperti sebuah bibit, cinta mudah ditanam jika dirawat dengan baik, dan tentunya ditanam dalam tanah yang cocok. Mungkinkah hati Alvin itu adalah tanah yang cocok? Tidak peduli iya atau tidak, Alvin akan tetap berusaha. Cinta telah membuatnya jadi begini.
“Masuklah, ini sudah malam.”
Shilla mengangguk, tersenyum sekilas dan kemudian berbalik badan sesuai perintah Alvin.
“Shill...” Alvin berujar, membuat Shilla dengan gerakan ragu menghadapkan tubuhnya lagi ke Alvin. Alvin masih dalam posisinya, di atas motornya, tak bergeser sedikitpun.
“Aku...” Alvin meneguk ludahnya sendiri.
Shilla? Gadis itu pintar sekali bersembunyi di balik topeng sempurnanya sekarang.
“Aku... aku pulang dulu.”
Hanya sebuah anggukan dengan senyum sekilas yang Alvin dapat setelahnya. Alvin mendesah dalam diam, memandang kecewa punggung Shilla yang kian menjauh dari hadapannya. Alvin tidak meminta sebuah pelukan hangat maupun sebuah kecupan manis. Tapi, setidaknya katakan sesuatu yang membuat Alvin tenang.
Merasa memang percuma, ia memulai menghidupkan mesin motornya. Shilla telah benar-benar menghilang dari hadapannya, ia tidak akan mendengar apapun saat ini dari bibir Shilla. Percuma saja. Roda dua itu mulai bergerak dengan seiring desahan kecewa dari Alvin.
Setidaknya, katakan bahwa kau mencintaiku.
***
Pintu bercat seputih tulang itu terbuka kembali, seseorang yang sedari tadi menunggu di balik pintu menyembulkan tubuhnya. Penglihatannya fokus menatap kendaraan beroda dua yang baru saja menghilang di balik tikungan dan meninggalkan asapnya saja. Gadis itu tersenyum miris, juga sakit.
‘Hati-hati di jalan. Aku mencintaimu.’
Kalimat itu akhirnya terucap juga. Yang sedari tadi ditahannya terlepas juga. Meski tidak secara langsung di hadapannya, beginipun sudah cukup. Ya, karena dengan begini semuanya tetap aman dan terkendali.
Shilla menutup pintu rumahnya untuk yang kedua kalinya. Membalik badan dengan hati-hati lantas menyandarkan punggungnya pada pintu. Matanya melirik ke langit-langit rumahnya. Lagi-lagi ia menghela napas, entahlah akhir-akhir ini ia sering sekali menghela napas. Jengah. Kapan ini akan segera berakhir, itu yang selalu Shilla tanyakan dalam hati usai menghela napas.
“Ciuman yang manis, hm?”
Suara berat itu menghentikan langkah Shilla ketika melewati ruang tamu, tepat saat kaki kanannya baru saja menapaki anak tangga pertama. Shilla tidak berniat sama sekali menyahut apalagi menoleh untuk sekedar sentuhan hormat pada orang tua. Terlalu lelah untuk hari ini. Menoleh sekali saja, semuanya akan semakin terasa melelahkan.
Di belakang sana, lelaki paruh baya itu memperhatikan lekat-lekat punggung putrinya yang semakin hari semakin tumbuh dewasa. Pandangannya tajam dengan aura hitam di sekitarnya. Mengerikan. Dengan sekali melihat saja, semua orang pun akan bergidik ngeri. Dan orang pun akan tahu darimana Shilla mendapatkan tatapan matanya yang tajam.
“Shilla... Jangan pernah melanggar aturan mainnya.” Ucap sang Ayah dengan kalem, namun menohok.
Shilla tersentak kecil. Jelas sekali maksud dari kalimat ayahnya. Diam-diam Shilla tersenyum kecut. Alih-alih tersenyum, ia mengangguk tanpa menoleh barang seinci pun, terlalu lelah untuk  itu, ingat?
Shilla mengerti, dan Shilla tahu.
“Aku tau, Ayah.”
Shilla tahu bahwa ia memang  telah  jatuh cinta.
***
Mata elang berwarna coklat gelap milik Shilla bergerak gelisah. Sesekali memandang jalan setapak di belakangnya yang kemudian bertumpu lagi pada mobil hitam metalik di depan sana. Entah mengapa ia merasakan rasa takut yang begitu besar saat ini. Terlebih lagi saat ia mendapati beberapa pasang mata memperhatikannya dari dalam mobil itu. Hingga pada akhirnya, fokus mata Shilla tertuju pada tanah yang dipijakinya saat ini, berharap tanah itu menenggelamkannya sekarang juga.
Oh, Waktu bergerak mundurlah, atau... berhenti saja.
SRET
Gelap.
Apa matahari meredup?
Cukup terkejut juga saat mendapati pandangannya mendadak gelap. Sayangnya, itu tak berlangsung lama, karena setelah itu tangan Shilla merambat perlahan ke bagian wajahnya, dan menemukan tangan kekar melingkari matanya. Shilla tersenyum tipis, hampir tak terlihat.
“Alvin?”
Seseorang di belakang Shilla terkekeh, lantas setelahnya mengacak rambut Shilla kemudian merangkul dan menarik Shilla untuk mendekat.
“Kamu tau, ya?” Dia terkekeh lagi, Shilla yang melihatnya hanya tersenyum.
Kini tangan Alvin membingkai wajah cantik Shilla. Tersenyum sebentar, sebelum akhirnya berganti menjadi muram. “Aku... lama, ya? Maaf, ya.”
Shilla terdiam. Matanya lekat memandang wajah Alvin. Merekam tiap inci sosok di hadapannya dengan sangat baik. Takut-takut jika esok tak dapat melihatnya lagi, atau bahkan justru takkan pernah melihatnya lagi, yang berarti ini hari terakhirnya. Bibir Shilla bergetar, alih-alih getaran itu berhenti karena Shilla menggigitnya kuat-kuat. Seandainya Alvin tahu, Shilla amat takut saat ini.
“Hei,  Shill—“
GREP
Tangan Alvin membentang lebar begitu juga dengan mulutnya yang menganga. Matanya yang sipit terpaksa membulat —meski hasilnya sia-sia— karena begitu terkejut dengan pelukan Shilla yang tiba-tiba.
Butuh waktu lama untuk saraf-saraf Alvin mencerna apa yang terjadi. Hingga Alvin merasakan pelukan Shilla mengerat, barulah ia dapat menyimpulkan semuanya.
Alvin tersenyum bahagia. Tangannya perlahan ikut melingkar di tubuh Shilla yang tidak lebih tinggi darinya. Mengusap punggung yang terasa begitu rapuh itu dengan lembut. Dalam pelukan ini, tak terlihat namun terasa, mereka menyalurkan perasaan mereka masing-masing. Hangat.
Cinta yang sederhana itu memang benar nyata. Hanya melalui sebuah pelukan ringan, kekuatan cinta itu begitu terasa. Tidak perlu kata-kata romantis jika berikutnya hanyalah omong kosong belaka. Tidak perlu mengikat janji jika berujung dengan pengingkaran dan air mata. Juga tidak perlu benda pengikat jika pada akhirnya menggores luka. Cinta tidak perlu sesuatu yang berlebihan. Ketulusan dan kesederhanaanlah yang membuat cinta menjadi sesuatu yang terlihat ‘LEBIH’.
Begitu juga halnya dengan Alvin. Cinta Alvin hanya memerlukan balasan dari Shilla, bukan kata-kata yang omong kosong, janji yang palsu, apalagi benda pengikat yang justru menyiksa. Karena bagi Alvin, aku mencintaimu dan kamu mencintaiku. Aku tulus, kamu pun tulus. Aku menerimamu dan kamu menerimaku. Sederhana.
Dalam dekapan Alvin, kaki Shilla gemetar, itulah mengapa ia mengeratkan pelukannya. Shilla terlalu peka, hingga makhluk hidup di belakang sana yang berjalan mendekat pun Shilla merasakannya.
SRET
BUGH
DUAGHH
Dua pria bertopeng dengan tubuh kekar menarik Shilla dari pelukan Alvin. Alvin yang melihatnya seketika merasa marah, ingin menyerang jika saja dua orang lagi tidak menahannya. Dengan beringas, Alvin memberontak. Sayangnya, Alvin jelas melakukan hal yang justru sia-sia, tenaga Alvin berbanding jauh dengan dua orang pria tersebut.
Sementara itu, Shilla justru terlihat pasrah-pasrah saja ketika tubuhnya diseret paksa dua pria yang sejujurnya, Shilla mengenalnya. Ia tahu ini akan terjadi. Dan inilah hal yang benar-benar membuat Shilla merasa takut sedari tadi.
Shilla menoleh cepat ketika mendengar Alvin meneriaki namanya berkali-kali. Wajah Alvin sudah babak belur dengan memar di ujung bibirnya dan luka berdarah di pelipisnya. Tubuh Shilla semakin bergetar, nuraninya memerintah kaki Shilla untuk berbalik dan menghampiri Alvin. Baru saja ingin melangkah, Shilla harus ditarik paksa lagi untuk masuk ke dalam mobil. Meninggalkan Alvin yang masih ditangani —Disiksa lebih tepatnya— oleh dua pria kekar. Shilla yakin itu... Bodyguard ayahnya.
Di dalam mobil, dua lelaki yang menangani Shilla itu menghempaskan tubuh Shilla ke jok belakang dengan kasar. Shilla mendengus begitu terhempas. Dan baru saja hendak mengeluarkan protes, mulut Shilla bungkam begitu saja ketika dihujami tatapan beraura hitam menyeramkan dari Ayahnya yang duduk di sebelahnya.
Shilla akhirnya memalingkan wajah menjadi menghadap jendela. Hampir saja kaca di samping Shilla pecah jika  saja Shilla tidak ingat dimana dan dengan siapa dia sekarang. Bibir Shilla lagi-lagi bergetar melihat pemandangan di luar sana. Tulang belikat Alvin yang dihantam keras dengan siku, perut Alvin yang dihujani kepalan tangan juga tidak lupa wajahnya hingga membuat wajah Alvin bermandikan darah. Puncaknya ketika Alvin memuntahkan darah dan kemudian tak sadarkan diri. Saat itu juga, Shilla ingin melakukan sesuatu, tapi urung.
Tidak boleh!  Sudah sejauh ini, dan ini janjinya.
***
Dua lelaki itu masih betah beradu pandangan tajam satu sama lain. Tak sedikitpun beranjak dari posisi mereka yang berdiri di atap sebuah gedung. Salah satu dari mereka mengepalkan tangannya keras, menahan sebuah amarah yang memusat di sana. Sementara yang satu lagi, menggertakkan giginya, menampakkan rahang tegas yang menantang.
Gabriel —sosok yang mengepalkan tangannya— membuang wajah pada akhirnya, napasnya naik-turun akibat menahan amarah juga menahan diri untuk tidak melayangkan kepalan tangan  pada wajah di depannya.
“Sivia istriku. Berhentilah mengganggu kami, Riko Jeremy!”
Riko —Lelaki dengan rahang tegas yang menantang—menyeringai. Wajahnya mulai melunak, tidak setegang tadi. Seraya memasukkan kedua tangannya pada saku celananya, ia beranjak pergi. Pergi tanpa peduli dengan  Gabriel, Sahabatnya—yang sekarang menjadi musuh terbesarnya— dengan wajah merah padam.
“Jika aku tidak bisa memilikinya, begitu juga denganmu. Ini adil. Aku akan membuat kita tidak ada yang memiliki Sivia. Aku, maupun dirimu, Gabriel Miracle. Tidak ada dan tidak boleh.”
Gabriel menggeram.
“Well, kupikir akan lebih seru lagi melihat putrimu tumbuh dewasa tanpa seorang ibu.”
BUGH
“Ayah?”
Siaran ulang di masa lalu pada benak Gabriel terputus seketika kala sebuah suara mengusik masuk ke dalam telinganya. Gabriel mengusap wajahnya, lantas mengangkat wajahnya untuk sekedar menoleh pada sumber suara. Wajahnya tampak datar, ah lebih tepatnya berpura-pura datar jika diperhatikan lekat. Sosok yang di panggil dengan sebutan Ayah oleh Shilla menegapkan posisi duduknya dengan tenang, seolah tak ada yang membebaninya saat ini. Ah, ternyata kepandaian berpura-pura milik Shilla diturunkan dari ayahnya.
“Apa yang ayah pikirkan?”
“Tidak ada.”
Shilla mengangkat sebelah alisnya, nampak tidak puas dengan jawaban Ayahnya. Sejak kecil, lebih tepatnya sejak Ibunya berpulang, Ayahnyalah yang memegang peran ‘Ayah dan Ibu’ dalam hidupnya. Dan hal ini membuat Shilla sangat mengenal sosok Ayahnya luar dan dalam. Wajar saja jika ia merasa ada yang aneh pada ayahnya.
Baiklah, Shilla menghela napas. Jika dalam situasi seperti ini, lebih baik mengunci mulut untuk tidak bertanya lebih lanjut. Shilla sangat mengenali ayahnya. Ada sesuatu yang tidak bisa dibagi dengannya. Shilla mengerti itu.
“Shilla, kamu mencintainya?”
Gadis bersurai hitam legam yang baru saja mendudukkan diri di samping Ayahnya merespon dengan kebisuan. Matanya memandang ayahnya sebentar, kemudian beralih menatap sosok tak berdaya yang terikat pada kursi di tengah ruangan. Shilla menghirup napas sebanyak-banyaknya, berusaha mengisi kesesakan pada paru-parunya, lantas menghembuskannya dengan kasar.
“Jangan bertanya, Ayah.”
Karena mencintainya atau tidak, semuanya tetap tidak akan berubah. Bukankah begitu aturan mainnya?
***
BUGH
Alvin meringis merasakan nyeri di pipi bagian kirinya. Tubuhnya benar-benar lemas, bahkan ia tidak merasakan adanya energi dalam tubuhnya, yang ada hanyalah rasa sakit dan nyeri di tubuhnya. Jadi, melawan pun Alvin tak bisa jika tubuhnya lemas dengan kondisi seperti sekarang.
“Kenapa Anda mel—“
DUAGH
Kali ini tepat di perutnya, lutut dengan betis berotot di bawahnya menghantam tanpa ampun. Alvin terbatuk-terbatuk dengan napas yang sudah kembang-kempis. Dan ketika terbatuk sekali lagi, Alvin mendapatkan bercak darah pada telapak tangannya. Seolah tidak peduli, Alvin mengangkat wajahnya, menatap lelaki yang nampak duduk tenang di kursinya. Seraya tersenyum, Alvin terbatuk lagi, “Kenapa anda melakukan ini pada saya, Tuan? Uhuk.”
Laki-laki paruh baya itu menyeringai, “Untuk menebus nyawa dengan nyawa.”
BUGH
BUGH
DUAGH
Kini baik pipi kanan maupun pipi kiri Alvin mendapat satu tonjokan Cuma-Cuma yang meninggalkan bekas biru kehitam-hitaman di wajah orientalnya. Belum sampai di situ, karena setelahnya Pria berbadan kekar yang sedari tadi menghajarnya, mencengkeram kerah baju Alvin dengan  kuat lalu melemparnya kasar hingga membentur tembok. Ia sempat mendengar sesuatu yang patah sebelum akhirnya rasa sakit melingkup tubuhnya, LAGI.
“Dengar...”
Dengan Susah payah Alvin mendongakkan wajahnya.
“Ayahmu, Riko Jeremy, telah merebut nyawa istriku.”
BUGH
SRET
BRAK
Wajah Alvin telah benar-benar babak belur. Kerah Alvin dicengkeram lagi, dan kemudian di lempar lagi ke pojok ruangan. Lelaki berwajah oriental itu tersungkur dengan darah yang memancar dari sudut bibirnya. Sekujur tubuhnya sudah bermandikan keringat yang telah bercampur menjadi satu dengan darah dari beberapa luka. Tubuhnya benar-benar hanya merasakan rasa sakit yang mendera begitu hebat.
“Berhenti.” Gabriel melipat tangannya di dada, memandang remeh sosok Alvin yang benar-benar mengenaskan. Alih-alih begitu, Gabriel menoleh pada putrinya yang sedari tadi berdiri di sampingnya dengan kaki gemetar.
 “Peluk dia.”
Shilla menatap Ayahnya lekat-lekat, sementara yang ditatap bersikap tidak peduli. Kini tubuh Ayahnya sudah menghadap jendela dan membelakangi tubuhnya. Dialihkan pandangannya, seketika Shilla merasa lemas melihat pemandangan ini. Kaki dan bibirnya sudah gemetar sedari tadi.
Kini bibir tak berdosa itu tergigit keras oleh gigi bagian atas, sementara kakinya yang gemetar mencoba melangkah meski terasa berat
Lakukan atau tidak sama sekali.
“A-a-alvin?” dengan bibir gemetar nama Alvin terlontar dari bibir semerah darah milik Shilla.
Alvin dengan sisa tenaganya mengangkat wajahnya guna menatap wajah Shilla. Dan senyum penuh sayang terulas di wajah yang telah babak belur ketika tubuh Shilla mendekap Alvin dengan erat.
“Shilla...”
Pelukan Shilla mengencang sebelum ia berujar lirih, “Maaf.”
“Shilla, apa kamu masih mengingat pertemuan pertama kita?”
Shilla terdiam sebentar, mengangguk pelan dan mengucapkan kata sebelumnya dengan lirih, “Maaf.”
“Saat itu, kita bertemu dalam sebuah insiden kecil. Lucu ya.”
“Maaf.”
“Setelah itu, entah bagaimana bisa kita saling kenal.”
“Maaf.”
“Lalu, aku mencintaimu. Sungguh, itu terlalu ajaib mengingat kita hanya mengalami pendekatan selama 4 bulan. Cinta itu... aneh ya, Shill?”
“Maaf.”
“Dan karena cinta, kita menjadi sepasang kekasih sampai sekarang. Sungguh... sebuah keajaiban ya, Shill?”
Shilla terdiam cukup lama. Karena cinta, kita menjadi sepasang kekasih sampai sekarang?  Shilla merasa tertohok mendengarnya. Karena cinta? Shilla tidak mengerti bagian yang mana yang disebut cinta jika Shilla melakukan hal sejauh ini? Ini terlalu fana disebut cinta. Cinta tidak begini. Sungguh! Ini bukanlah cinta.
Dan pada akhirnya, masih kata yang sama yang mampu Shilla ucapkan, “Maaf.”
Alvin merengkuh tubuh gemetar itu lebih dalam. Matanya terpejam, dibaliknya sebuah film masa lalu terputar jelas dalam benaknya. Alvin mengingat kembali saat itu, saat dimana ia dengan ceroboh bertabrakan dengan Shilla di tikungan koridor kampus. Ini terlalu konyol, tapi Alvin menyukainya, ia masih mengingatnya dengan jelas.
Film itu masih saja berputar-putar cepat dan bergantian. Semuanya, kenangannya dengan Shilla, takkan pernah terlupakan, sekalipun Alvin telah tiada nantinya. Karena Alvin... mencintai Shilla. Sederhana.
“Shilla... Aku mencintaimu.”
Nafas Alvin tercekat. Namun, tidak begitu lama, karena setelahnya ia tersenyum tulus. Ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Aku... bahagia saat—”
DORRR
Alvin masih dengan senyumnya, “—bersamamu.”
“Maaf.”
Tubuh Shilla benar-benar gemetar. Rasa takut, sedih, kecewa, marah dan  kehilangan semua berpadu menjadi sebuah guncangan besar dalam hatinya. Memporak-porandakan semuanya hingga ke ulu hati. Dan napasnya terasa sesak, seolah ada palu godam yang menghantam dadanya.
“Aku juga mencintaimu.”
Tangan dengan bercak darah itu melingkar erat di tubuh Alvin. Seolah tak mau sedikitpun kehilangan sosok dalam rengkuhannya.
“Aku juga bahagia saat bersamamu.”
Dan pada akhirnya tubuhnya terduduk lemah, rengkuhannya merenggang. Membuat raga dalam rengkuhan rapuh itu terjatuh tepat di pangkuannya. Pistol dalam genggamannya terjatuh begitu saja.
Lelaki paruh baya yang sedari tadi berdiri menghadap jendela, menatap putrinya dengan cepat. Seulas senyum kemenangan terpatri jelas pada wajah yang mulai terlihat keriput —meski begitu tetap tampan.
“Anak pintar.” Ia menoleh kearah pintu dan menyeringai pada dua bodyguardnya. “Bawa dia ke hadapan Ayahnya. Sekarang!” Lantas setelahnya pergi meninggalkan sang putri yang terkulai lemas.
Suara dentuman itu masih terdengar sangat jelas di telinga Shilla. Pergerakan pelatuk yang ia timbulkan masih terasa sangat nyata di sela-sela jarinya. Tubuh Alvin yang tak berdaya kala merengkuhnya masih terasa hangat dalam hatinya yang kacau. Semuanya... Shilla merasa semuanya masih melingkupi hidupnya. Alvin dengan senyumnya, perhatiannya, kasih sayangnya dan tentunya... cintanya.
 Shilla mendongakkan wajahnya. Menatap langit-langit ruangan yang terasa ingin runtuh di matanya, seolah siap menimpa tubuhnya kapanpun itu. Senyum yang terlihat miris itu terkulum. Dalam manik coklat gelapnya, ia melihat Ibunya yang tengah tersenyum pada dirinya di masa lalu. Mengusap lembut rambutnya yang menguarkan aroma strawberry khas anak-anak.
“Setelah ini, Shilla harus patuh pada Ayah. Mengerti?”
Kedua mata itu terpejam keras-keras, menimbulkan kerutan yang terlihat menyimpan sejuta rasa sakit di sana. Sementara suara lembut Ibunya menggema terus-menerus dalam telinganya.
Dia melakukan hal yang benar, bukan? Patuh pada Ayahnya,  sekalipun diperintah untuk bunuh diri, tetap harus melakukannya. Begitu, kan? Sekarang ia benar-benar telah mematuhi keinginan Ayahnya dan mengenyahkan hasrat untuk menolak.
Matanya Shilla terbuka setelah terpejam cukup lama, menatap nanar pada pistol yang tergeletak di atas marmer putih dengan bercak darah menempel disana.
Tugasnya telah selesai.
TES
SRET
Setetes air mata lolos begitu saja dari mata Shilla, dengan cepat melintas diatas pipinya. Dan secepat itu juga, Shilla menyekanya kasar. Jangan pernah menjadi gadis cengeng, perintah Ayahnya benar-benar melekat dalam otaknya. Shilla benar-benar tumbuh menjadi gadis yang pantang dengan air mata.
Sekalipun ingin menangis, Shilla akan menangis dalam hati.
***
“Alvin Jeremy sungguhan meninggal?”
“Ini tidak dapat dipercaya.”
“Pemakamannya dilaksanakan kemarin.”
“Hiks. Aku ingin menangis.”
Suara-suara itu masih berlanjut pada topik yang sama. Kematian putra tunggal Tuan Jeremy benar-benar menjadi obrolan hangat di kampus pagi itu. Berita itu tersebar hingga ke setiap penjuru kampus, semua orang membicarakannya. Dan pagi itu, suasana kampus kelam, dirundung duka.
Mungkin, hanya ada seorang gadis yang tak membahas apapun tentang kematian Putra Tuan Jeremy yang terhormat itu. Dia lebih mengasingkan diri dibalik buku setebal 3 cm sejak pagi tadi. Sayangnya, tak ada yang tahu bahwa telinganya mendengarkan dengan serius apapun yang tertangkap telinganya. Dia tak hanya  membaca, tapi juga mencuri dengar, seandainya mereka tahu.
Tidak terasa buku yang ia baca telah selesai. Gadis itu menghela napas, lantas matanya beralih menatap arlojinya. Sudah waktunya pergi. Ia menutup bukunya, nampaknya besok dia harus meminjam buku yang baru.
Gadis itu mulai berdiri, mengakhiri kegiatan membacanya juga mencuri dengarnya.
Ini sama seperti membaca buku. Jika telah sampai di lembar terakhir, sejatinya kita akan menggantinya dengan buku lain dan membuka lembar baru. Sama seperti kisah ini, ketika kisah ini telah mencapai  lembar terakhir, membuka lembar baru sesungguhnya lebih baik. Jangan lagi menoleh ke belakang, karena tujuan kita adalah kedepan.
Shilla menghembuskan napas dengan kasar bersamaan dengan rasa sakit yang menguap dan bercampur dengan udara di sekitarnya.
Kisah ini telah berakhir.
***
KLIK
Televisi flat itu menampakkan layar yang kian menghitam. Ray melirik teman-teman disampingnya. Keningnya mengkerut mendapati keadaan teman-temannya yang terlihat mengenaskan di matanya.
“Kalian nangis?”
Keke, temannya yang tengah mengelap lubang hidungnya dengan tissue menoleh sebentar, lalu kembali fokus pada kegiatannya mengelap hidung. “Ini sedih, Ray.”
Ray mencibir pada Keke. Menurutnya ini berlebihan.
“Apalagi waktu scene Shilla nembak Alvin pas Alvin bilang  ‘Aku mencintaimu’. Itu nyesek, Ray.” Acha, dengan mata memerah menyahut tanpa menoleh seraya  merapikan tempat DVD yang terlihat berantakan.
Ray melongo, kini di tatapinya Ozy, temannya yang nampak kalem dengan gadgetnya.
“Elo juga nangis, Zy?”
“Enggak.”
Ray menghembuskan napas lega, setidaknya masih ada temannya yang tidak menjijikkan dan berlebihan —menurutnya.
“Tapi gua tersentuh sama tokoh Alvin Jeremy-nya.”
Apa? Ray melongo setelah mendengus dan mencibir. Ternyata Ozy sama saja.
“Gue mau ke toilet dulu.”
Semuanya menggangguk acuh, tampak tidak peduli dengan Ray. Apapun yang akan Ray lakukan dirumahnya sendiri, itu bukan suatu masalah bagi mereka. Lain lagi jika ini bukan rumah Ray, Ozy pasti akan mengekori Ray. Bersahabat dengan Ray membuat mereka mengenal Ray yang tidak bisa diam.
Izin ke toilet tentu saja alibinya untuk menutupi sesuatu. Ia merasa aneh dengan dirinya. Sejujurnya, sejak ia mematikan Televisi di kamarnya, ia sudah merasa matanya memanas. Awalnya, ia kira itu bukan apa-apa. Sampai pada akhirnya, matanya yang memanas kian memburam oleh sesuatu yang menggenang di pelupuk matanya. Ray merasa risih dengan matanya.
TES
“AISH! KENAPA GUE JUGA NANGIS?!”
***
THE END




This don't copyright by me. Please appreciate the author. Thank you

0 comments:

Post a Comment

© Teenager Story❦, AllRightsReserved.