Human, Girl, Daydreamer

Sunday, March 2, 2014

Let The Love Choose -short story-


Kenangan bukanlah sesuatu yang harus dihilangkan..
Memori bukanlah sesuatu yang harus dihindari..
Karena sampai kapanpun, meski raga ini telah mati, mereka berdua akan tetap ada dan abadi..
Walau hanya dalam sanubari..
Shilla melangkahkan kakinya dengan perlahan. Menelusuri dengan lekat segala sesuatu yang tertangkap oleh matanya. Ia tak ingin meleawatkan hal-hal kecil yang telah menjadi bagian dari “sejarah” hidupnya.
Sudah hampir satu jam ia berada di tempat kenangan itu dalam diam dan hening. Tak ada seorangppun yang ia temui selama hampir satu jam di sana. Tapi Shilla tetep tidak peduli. Karena itulah yang ia butuhkan saat ini.. kesendirian..
Langkah kakinya kini terhenti. Tepat di depan sebuah taman kecil yang sangat asri. Di tengah taman itu ada sebuah pohon beringin yang dikelilingi bangku bangku kecil yang disusun melingkar. Tepat di sebelah kanan, ada air mancur kecil yang mengalirkan air mengelilingi taman itu seperti sebuah sungai.
Dari tempatnya berdiri, Shilla dapat melihat bayangan empat anak dengan seragam putih abu-abu yang tengah duduk di taman itu sambil menikmati makan siang mereka. Sayup-sayup, Shilla dapat mendengar apa yang mereka bicarakan.
“eh,lihat deh, di sana ramai banget ya” kata salah satu bayangan tersebut yang hanya dijawab anggukan oleh teman-temannya.
“coba deh lo bayangin, suatu saat nanti begitu kita udah lulus, lo berdiri di sini dan menaatap ke koridor-koridor itu. Dan satu demi satu semua orang yang ada di koridor itu menghilang. Tidak ada lagi suara orang tertawa, tidak ada lagi yang kejar-kejaran.. semuanya hilang.. hanya ada keheningan.. pasti rasanya bakal sedih banget yaa..” lanjutnnya.
“bayangin itu aja gue udah sedih dan takut banget. Gue belum siap kehilangan kalian semua. Gue masih pengen bareng kalian”
Shilla menggelengkan kepalanya perlahan, berusaha menghilangkan sekelumit kisah masa lalunya yang kini tiba-tiba hadir secara tiba-tiba. Ia menghela napas dan melihat ke sekelilingnya.
‘ah ternyata yang dikatakan Ify waktu itu benar, tak ada lagi canda tawa di sini.. hanya ada keheningan.. keheningan yang menyesakkan..’ batinnya..
Dan entah bagaimana caranya, dalam sekejap mata indah itu sudah di penuhi buliran air yang siap meluncur kapan saja. Seperti halnya memori-memori yang sudah lama ia sembunyikan di sudut otaknya, dan kini satu per satu memori itu memberontak ingin keluar.
Shilla sendiri tahu inilah saat yang tepat baginya dan kenangannya untuk kembali bernostalgia. Karena kini, ia telah menyadari satu hal.. kenangan itu tak pernah lenyap..
**Flash Back I On**
Ketika buku itu ku buka, kau orang pertama yang mengisinya.  
Menorehkan bias-bias kata yang terangkai menjadi syair.  
Membuaiku dalam lantunan kisah syahdu. 
 Ketika pesonamu telah menjadi candu, akan kah kau hadir di kisahku? 
 Untuk menggoreskan sedikit tinta cintamu? 
“BRUUUK!!!”
“Aah aduh maaf yaa.. lo enggak papa kan? Ada yang sakit nggak?” gadis itu tengah menunduk dengan khawatir. Memperhatikan gadis lain di hadapannya yang kini tengah terduduk atau lebih tepatnya terpaksa duduk di tanah dengan barang-barang berserakan gara-gara insiden tabrakan yang baru saja ia alami.
Gadis yang sedang terduduk itu kini mulai membereskan barang-barangnya, setelah semua beres baru ia mengangkat kepalanya dengan sebuah senyuman yang terukir di wajah cantiknya itu.
“Gue gak papa kok” jawabnya masih dengan senyum yang terpatri di wajahnya.
“Sorry ya gue soalnya lagi buru-buru banget. Dari tadi nyari kelas 10 A gak ketemu-ketemu, gue jalannya jadi gak fokus deh” gadis itu kini mula menjelaskan sambil membersihkan sisa-sisa debu yang masih menempel di roknya.
“Lo kelas 10 A juga? Sama dong gue juga kelas 10 A loh, ya udah bareng aja. Gue udah tau kelasnya kok. Oh ya kenalin gue Ify” kata Ify sambil mengulurkan tangannya.
“wah kebetulan sekali. Gue Ashilla, panggil aja Shilla” jawab Shilla sambil membalas uluran tangan Ify.
Ify hanya tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia memperhatikan Shilla. Agak bingung juga dengan penampilan teman barunya ini yang bisa dibilang normal atau lebih tepatnya sangat normal untuk ukuran anak yang akan mengikuti MOS. Tidak ada pita warna-warni ataupun atribut aneh-aneh lainnya.. yang ada hanyalah rambut panjang yang diikat satu ke belakang..
“uum Shill kok penampilan lo biasa banget sih?” tanya Ify agak ragu saat mereka berjalan menuju kelas.
Kini Shilla yang tampak bingung mendengar pertanyaan Ify “emang gue kenapa?” tanyanya sambil memperhatikan seragam yang ia kenakan dari atas ke bawah.
“lo gak pake atribut seperti yang kemaren di printahin sama kakak-kakak pengampu?”
Shilla terdiam sejenak, diperhatikannya teman barunya itu dari atas sampai bawah. Rambut diikat menjadi lima dengan pita warna-warni. ID card dari kertas karton dan tas sekolahnya kini sudah berganti dengan tas plastik dengan tali rafia  warna merah putih. Kini sepertinya alaram di otaknya baru bekerja. Berdering dengan keras hingga menyadarkannya dari kesalahan besar yang sudah ia perbuat.
“ASTAGAAA IFY GUE LUPA...!!!” Shilla menepuk jidatnya, mukanya kini sudah pucat. Hari pertama MOS di SMA yang ingin dilaluinya dengan mulus kini sepertinya hanya akan menjadi angan-angannya. “haduuuh gimana ini fy, aaah mati deeh gua sama kakak kelass ini. Aarrgh sial banget sih gue” lanjutnya sambil mondar-mandir dengan tatapan bingung.
“Yah gimana dong Shill, udah mau masuk juga ini.”
Shilla melirik jam tangannya. Ify benar jam digital yang melingkar di tangannya itu sudah menunjukkan angka 06.55. itu berarti hanya tersisa waktu 5 menit sebelum mimpi buruk melandanya..  “yaah pasrah deh gue” ujarnya lemas.
***
**FlashBack I off**
Shilla tersenyum simpul mengingat kejadian saat ia pertama kali menginjakkan kakinya di sekolah ini. Itulah saat dimana ia mengenal Ify, sosok yang  telah menjadi sahabat karibnya selama mengarungi masa putih abu-abu. Entah sebuah kebetulan atau memang kehendak sang takdir, mereka berdua selalu berada dalam satu kelas, Dari mulai kelas X sampai kelas XII
Bayangan Shilla kini melayang ke sebuah masa yang paling membahagiakan sekaligus menyesakkan baginya. Sebuah masa yang telah ia sembunyikan rapat-rapat dalam sudut otaknya. Semua ini terjadi ketika mereka menginjakkan kaki ke kelas XII. Saat ia mengenal dua sosok baru dalam hidupnya. Rio dan Alvin. Sepasang sahabat yang dengan caranya sediri dapat menyusup ke dalam persahabatan Shill-Ify. Mengisis setiap celah dengan tawa, kebahagiaan, cinta, bahkan.... luka.
**Flash Back II On**
“Shil..” panggil Rio lirih. Shilla yang tengah duduk di sebelah Rio hanya menanggapinya sederhana. Perhatiannya tak teralihkan dari novel teenlit yang baru ia beli kemaren sore.
“shil... gue mau cerita nih”
“Ya udah Yo cerita aja. Emang cerita apaan sih?”
“gue mau cerita soal.. emm itu.. soal..” Rio kini mulai terbata. Ia sendiri bingung bagaimana harus menceritakan semua ini pada Shilla.
Shilla yang melihat Rio berbicara sambil terbata kini memutuskan untuk menutup bukunya dan menatap Rio tajam. “udah lah Yo, lo mau cerita tentang Ify kan? Gitu aja susah” celetuk Shilla.
SKAK MAT! Rio terdiam. Terpaku menatap temannya ini. Melihat ekspresi Rio yang terlihat kaku karena kaget Shilla hanya tertawa ringan sambil kemabali berkonsentrasi pada novelnya.
“emm itu...”
“benerkan tebakan gue. Hahaha lo suka kan sama Ify?” sekali lagi ucapan Shilla barusan berhasil membuat Rio terdiam untuk yang ke dua kalinya.
Rio menggaruk kepalanya frustasi, ditatapnya Shill dengan tatapan memelas, “emang keliatan banget ya Shill?”
Shilla hanya trsenyum, ia menatap Rio dengan seksama “emm.. enggak sih Yo, tapi kayaknya feeling gue yang terlalu kuat, hehe” ujarnya smabil tertawa ringan.
Rio menghela napas, sepertinya ia memang harus jujur dengan sahabatnya ini, “iya Shill, gue suka Ify. Jadi.. jadi lo mau kan bantuin gue? Pleaseeee...” rio mengatupkan kedua tangannya dan menatap penuh harap ke Shilla.
“bantu lo? Jadi gue harus jadi mak comblang gitu?” tanya Shilla yang hanya dibalas anggukan oleh Rio.
“ya udah deh..” jawab Shilla pasrah..
‘aaah thank you ya Shill, lo emang sahabat gue yang paling baik. Kalau gue beneran jadian sama Ify gue bakal bantu lo juga deh. Tinggal sebut saja lo mau gue comblangin sama siapa.. sama Alvin mau?”
Shilla mengerjap sesaat begitu mendengar nama itu disbut. Ia menatap Rio heran.
“bercandaa shill” ujar Rio sambil meringis, sedangkan Shilla hanya tersenyum tipis sambil kembali membaca novelnya.
***
Alvin Jonathan. Sosok yang Shilla anggap sebagai angin. Sosok yang dapat ia rasakan tapi tak bisa ia engkuh unuk ia miliki. Sosok yang bisa menyusup masuk ke dalam hatinya lewat celah terkecil, tapi tidak dapat terus tinggal untuk mengisi ruang kosong di hatinya. Karena sosok itu memilih itu terbang bebas, seperti angin...
“kok kita gak gabung sama mereka aja sih Shill?” tanya Alvin begitu Shilla mengajaknya menjauh dari rio dan Ify. Mereka berempat kini sedang berada di sebuah danau yang terletak di pinggir kota. Kawasan di sekitar danau ini cukup asri dengan pohon mahoni yang tumbuh melingkari danau yang cukup luas ini.
Shilla hanya tersenyum mendengar protes Alvin, ia menarik Alvin ke tepian danau yang cukup jauh dari tempat Rio dan Ify. Setelah dirasa cukup, ia melepaskan gandengan tanganya dari Alvin dan duduk di tepian danau.
“rio itu mau PDKT sama Ify tau” uajr Shilla sambil duduk.
“hah? Maksudnya?” tanya Alvin sambil ikut duduk di sebelah Shilla.
“iyaa Rio itu suka sama Ify”
“yah, kok Rio aneh sih...” ujar Alvin santai. Sedangkan Shilla yang mendengarnya kontan menatap Alvin dengan raut muka meminta penjelasan. Alvin ynag menyadari itu langsung melanjutkan kalimatnya.
“yaa aneh Shill, masa suka sama anak satu kelas. Kan entar jadi serba gak enak. Apalagi pasti entar anak-anak pada ngeledekin. Kalau gue sih males”
Shilla yang mendengar penuturan Alvin barusan hanya diam terpaku. ‘apakah itu berarti harapan gue untuk memiliki lo udah sirna Vin? Hanya gara-gara kita satu kelas?’ tanyanya dalam hati.
Shilla memalingkan mukanya. Diamatinya permukaan air danau yang tenang dihadapannya. Sekali tarikan nafas panjang dan ia mulai berujar tanpa memandang Alvin sedikitpun.
“elo yang aneh Vin. Masa Rio gak boleh naksir Ify hanya gara-gara mereka satu kelas. Kitakan gak bakal tau kemana cinta kita akan berlabuh. Cinta itu gak kayak matematika yang bisa dihitung dengan pasti. Cinta itu juga bukan kimia yang reaksinya dapat disetarakan, cinta juga bukan fisika yang dapat dicari rumusnya. Cinta itu gak pasti Vin” ujarnya lirih. Sebuah pernyataan yang lebih tepat disebut sebagai “curahan hatinya sendiri” dibandingkan dengan pembelaan terhadap cinta Rio kepada Ify. Begitu menyadarinya Shilla buru-buru menambahkan kalimat yang diharapkannya dapat menyamarkan apa yang tadi ia utarakan “hehe susah juga sih mengerti  juara kelas kayak elo vin. Pikirannya suka aneh-aneh”.
***
Harapan itu ada, tapi terasa hampa
Harapan itu datang, tapi tersamar dalam petang
Harapan itu lemah, tapi mampu menguatkan dalam lelah
Harapan itu hadir, untuk menguatkan hati yang telah tersingkir
Alvin memarkirkan motornya tepat di depan sebuah rumah yang cukup megah tak jauh dari rumahnya. Rumah dengan cat warna biru muda itu tak lagi asing baginya. Hampir setiap minggu ia sempatkan untuk mengunjungi rumah itu meskipun hanya sekedar untuk mertegur sapa dengan sang pemilik rumah.
Setelah melepaskan helmnya, ia mengeluarkan HP yang berada di saku jeansnya. Sesaat setelahnya, jarinya mulai bergerak lincah di atas keypad HPnya. Dibacanya pesan singkat itu terlebih dahulu sebelum akhirnya ia kirim ke orang yang sedang ia tunggu.
To           :               Shilla
Waiting in front of ur home
Come here as soon as possible :)
Setelah memastikan pesan itu telah terkirim, ia memasukkan kembali Handphonenya dan beralih ke kamera SLR yang tergantung di lehernya. Tak lebih dari lima menit sang pemilik rumah itu sudah keluar dan berjalan menghampiri Alvin.
Alvin memperhatikan penampilan Shilla pagi ini. Jeans selutut dengan atasan kaos warna biru muda dan dibalut dengan cardigan warna putih. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai dengan hiasan sebuah bando kecil warna putih yang membuat gadis ini terlihat begitu cantik.
“udah siap Shill?” tanyanya begitu Shilla sudah berdiri di sampingnya. Shilla hanya tersenyum dan mengangguk.
“ya udah cepetan naik, keburu siang nih” ujarnya sambil kembali memakai helmya. Tanoa menunggu lagi, Shilla langsung naik ke motor Alvin begitu Alvin menyalakan mesin motornya. Sebelum benarpbenar melaju, Alvin menoleh ke arah Shilla yang duduk di boncengannya.
“siniin tangan lo”
“hah?” tanya Shilla spontan, ia tak mengerti maksud Alvin barusan.
Tanpa aba-aba, Alvin langsung menarik ke dua tangan Shilla dan melingkarkannya di pinggangnya. Setelah itu tanpa memberikan penjelasan sedikitpun ia langsung melajukan motornya, membiarkan Shilla terdiam dengan perasaan yang kacau karena jantungnya yang tak mau berdetak secara normal.
***
Sudah hampir satu jam mereka mengambil foto pemandangan alam di kawasan perbukitan ini, tugas bahasa Indonesia mengharuskan mereka berdua untuk berburu foto yang kemudian akan mereka presentasikan minggu depan. Meskipun mereka berdua tidak berada dalam satu grup, tapi entah mengapa Alvin mengajak Shilla untuk berburu foto bersama.
Setelah puas mengambil gambar, Shilla dan Alvin memutuskan untuk istirahat di salah satu lembah bukit. Udara pagi ini sangat sejuk, sinar matahari juga sangar bersahabat dengan mereka. Ke dua orang ini sibuk melihat hasil buruan mereka di kamera masing-masing. Alvin menatap Shilla yang masih memperhatikan kameranya. Sebuah ide yang cukup bagus lansung terlintas di pikirannya.
“Shill, foto bareng yuk” ujar Alvin sampbil tersenyum lebar. Shilla yang masih bingung hanya menatap Akvin dengan heran. Tanpa menunggu persetujuan Shilla, Alvin langsung merangkul gadis itu dan.. “jepreet..” satu foto sudah terambil.
“iiih apaan sih Vin maen ambil foto kayak gitu, gue kan belum siap” ujar Shilla sambil mencak-mencak. Sedangkan Alvin hanya tertawa melihat hasil foto mereka berdua. Tampak sekali wajah Shilla yang sedang bengong menatap Alvin, menimbulkan mimik yang sangat lucu dan entah mengapa Alvin menyukai itu.
“ayoo ulaang!!” ujar Shilla, kali ini sambil menyiapkan kameranya dan mengatur posenya.
“ayo, satu... Dua..” Shilla mulai menghitung mundur, sedangkn Alvin hanya menatap pada lensa kamera “ti... gaaa...” “JEPREET..” entah dorongan darimana, pada hitungan ke tiga Alvin mendaratkan sebuag ciuman di pipi kanan Shilla. Membuat gadis itu diam membatu.
***
Selang beberapa bulan entah bagaimana caranya sebuah isu bahwa Shilla dan Alvin sedang menjalin sebuah hubungan beredar dengan cepat di kelasnya bahkan gossip ini juga sudah mulai tersebar ke kelas-kelas lain.
Perlahan namun pasti Shilla menyadari bahwa hubungannya dengan Alvin semakin merenggang. Shilla tentu tahu dengan pasti bahwa Alvin tidak suka mendapatkan gossip seperti itu dan Shillapun berusaha untuk memahami prinsip Alvin tersebut, meskipun hatinya diselimuti luka.
Sebulan berlalu dan Shilla harus mendapati kenyataan pahit bahwa Alvin kini tak sendiri lagi. Dari Ify ia mengetahui fakta bahwa Alvin kini sedang PDKT dengan Acha. Seorang gadis manis yang kini duduk di bangku kelas XI. Hal ini tentu membuat hubungan Shilla Alvin menjadi sangat renggang. Bahkan bertegur sapapun menjadi sesuatu yang langka.
***
Luka itu begitu kentara
Meluluh lantahkan hati yang telah lara
Melelehkan jutaan kristal air mata
Membuat sang lakon diam tak berdaya
Sore itu air mata tak henti-hentinya mengalir dari mata Shilla. Sebuah kabar buruk yang bahkan tak pernah ia bayangkan akan terjadi dalam mimpinya yang paling buruk itu tiba-tiba terjadi begitu saja di hadapannya. Sebuah berita yang ia dengar dari tantenya bahwa orangtuanya mengalami kecelakaan dan mereka meninggal di tempat kejadian.
Sudah hampir dua jam pula ia mengunci diri di kamar tanpa membiarkan seorangpun menemuinya, termasuk Ify sahabatnya sendiri. Dalam perasaan yang kacau ini hanya ada satu nama yang terlintas di pikiran Shilla. Alvin! Ya ia ingin menemui laki-laki itu.
Tanpa mempedulikan apapun Shilla langsung berlari keluar kamarnya, menerobos hujan yang cukup deras di luar. Ia terus berlari menyusuri jalan menuju rumah Alvin yang memang satu komplek dengannya. Begitu sampai di rumah Alvin, Shilla mengetuk pintu rumah itu pelan. Tak berapa lama Alvin muncul dari balik pintu.
“Shill, lo gak papakan?” tanyanya khawatir begitu melihat Shilla berdiri di hadapannya dengan badan yang basah kuyup dan air mata yang masih terus mengalir. Tanpa menjawab pertanyaan Alvin, Shilla langsung memeluk sosok itu. Hanya itu yang ia butuhkan saat ini.
“sakit Vin.. sakit bangeet rasanya..” ujar Shilla lirih masih dengan isakan yang kentara.
“gue tau Shill, gue tau.” Ujar Alvin berusaha menenangkan Shilla, diusapnya kepala gadis yang ada di pelukannay itu dengan lembut. Hening.. tak ada kata yg terucap..
“kak...” ujar suara dari balik tubuh Alvin. Shilla mendongakkan kepalanya begitu mendengar suara gadis itu. Dilihatnya sosok Acha yang kini berdiri di belakang Alvin. Begitu melihat sosok itu Shilla melepaskan pelukannya. Hatinya semakin sakit, dan tanpa berpamitan ia kembali berlari menerjang hujan. Membiarkan air matanya turut membanjiri bumi ini.
Alvin sangat kaget melihat Shilla yang kini berlari, ada dorongan yang kuat untuk mengejar gadis itu dan kembali merengkuhnya dalam peluknya. Tapi lagi-lagi ego itu terlalu besar untuk ia kalahkan. Separuh hatinya tetap mempertahankan ego itu, dan separuh lainnya ikut melebur dalam tangisan Shilla.
***
Suasana siang ini sangat riuh. Anak-anak berlarian kesana-kemari, larut dalam canda tawa maupun tangis bahagia. Pagi tadi mereka baru saja dinyatakan lulus dari SMA dan itu berarti sebentar lagi mereka akan menanggalkan seragam putih abu-abu.
Shilla memandangi amplop putih yang baru saja ia terima dari tantenya yang berada di Aussie. Beliau meminta Shilla untuk kuliah di sana dan tinggal bersama mereka. Sudah hampir empat bulan berlalu dari peristiwa kecelakaan yang merenggut nyawa ke dua orang tuanya. Jujur, ia memang ingin meninggalkan jakarta, karena ia tidak ingin dibayang-bauangi oleh peristiwa itu. Lagi pula ia juga tak punya saudara yang tinggal di Jakarta. Saat ini hanya ada satu hal yang masih mengganjal keputusan Shilla untuk pergi. Cintanya.. cintanya pada Alvinlah yang masih memberatkannya. Dan saat ini, ia akan memutuskan untuk mencari sebuah keputusan.
***
Shilla menghampiri Alvin yang tengah berdiri di taman kecil di belakang kelas mereka. Ia sedang membubuhkan tanda tangannya di seragam seorang siswa yang berdiri di hadapanya. Begitu siswa itu pergi, ia datang menghampiri Alvin yang kini duduk di bangku taman.
“Vin gue mau ngomong sama lo” ujar Shilla sambil ikut duduk di sebelah Alvin.
“ngomong apa Shill?” tanya Alvin heran begitu melihat ekspresi serius di wajah Shilla.
“gue tau mungkin ini lancang, gue tau kalau gue gak berhak atau mingkin gue gak pantes ngomong gini sama elo. Tapi Vin.. gue.. gue..” shilla terdiam sesaat, diremasnya amplop putih yang ada ditangannya. Sebuah amplop yang nasibnya ia gantungkan pada jawaban yang akan diberikan Alvin.
“gue suka sama elo Vin, gue sayang atau bahkan cinta sama elo” ujar Shilla lirih. Ia terus menundukkan kepala, tak punya cukup keberanian untuk menatap Alvin.
Alvin yang baru saja mendengar pengakuan Shilla itu tentu masih sangat kaget, perlahan ia mengumpulkan kesadaran. Ia sangat bingung dengan jawaban macam apa yang harus ia berikan, “shil.. gue..”
“sayang.. selamat ya atas kelulusannya” belum sempat Alvin menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara menyeruak dari hadapan mereka. Shilla yang mendengarnya langsung mengankat kepala dan menatap sumber suara itu. Lagi-lagi Acha –gadis itu- dan panggilan yang baru saja Acha berikan kepada Alvin sudah cukup memberikan jawaban kepada Shilla tentang pernyataannya kepada Alvin dan nasib dari amplop putih itu.
Dengan perlahan Shilla berdiri dari tempatnya dan menatap Alvin dengan mata yang berkaca-kaca. Ia tersenyum sekilas sebelum akhirnya memutuskan pergi dari tempat itu. Dan lagi-lagi air mata itu harus ia biarkan menetes..
-Flash Back II off-
Tanpa terasa air mata Shilla sudah menetes. Ia masih duduk di bangku taman sekolahnya sambil menyaksikan film masa lalu yang baru saja ia putar, sudah hampir empat tahun tetapi Shilla sama sekali belum bisa melupakannya. Diliriknya jam tangannya. Sudah hampir dua jam. Udara di sekitarnya juga sudah mulai dingin. Shilla menggosok kedua tangannya pelan, berusaha menghilangkan sedikit kedinginan.
Shilla mengerjap kaget, sebuah beda tersampir di pundaknya. Memberikan sebuah aroma yang khas. Aroma yang dulu sering ia hirup empat tahun lalu. Dia memegang benda itu, sebuah jaket. Dan aroma yang menyeruak dari jaket itu membuat jantungnya kembali berdetak lebih cepat. Tubuhnya kaku. Ia sama sekali tak berani memalingkan mukanya.
“hay Shill! Ngapain di sini sendirian?” sapa suara itu. Shilla membatu, sapaan itu masih sama, suara itu juga masih sama. Dengan ragu ia memalingkan mukanya. Teoat di sebelahnya Alvin tengah berdiri dengan senyum khasnya.
“boleh ikut duduk?” tanyanya, sedangkan Shilla hanya mengangguk kaku sebagai jawabannya.
“elo apa kabar Shill? Lama gak keliatan”
“baik” jawab Shilla singkat. Jujur ia tak menyangka akan secanggung dan segugup ini ketika berhadapan lagi dengan Alvin.
Shilla menatap sebuah undangan kecil yang tengah ia genggam. Undangan yang membuatnya rela-rela datang dari Aussie dan membongkar semua kenangan pahitnya.
“emm.. Vin, selamat ya atas pertunangan lo” ujar Shilla lirih.
Alvin menatap Shilla heran “pertunangan?” tanyanya ragu. Sedangkan Shilla hanya mengangguk sambil menyerahkan undangan yang ada di tangannya.
Alvin menatap undangan itu “dari Rio?” tanyanya, sedangkan Shilla hanya mengangguk. Alvin hanya tersenyum, sepertinya ia mengerti apa maksud dari semua ini.
“hari saat lo pergi adalah hari dimana gue kecelakaan dan harus koma selama tiga hari Shill” shilla tersentak, Ia tak menyangka Alvin akan membicarakan ini. Sejujurnya ia sudah mengetahui ini. Ify yang memberi tahunya saat ia hendak pergi ke bandara.
“kok lo jahat sih Shill, gak jenguk gue sama sekali. Padahal gue pengen banget ketemu elo, hehe” ujarnya sambil tertawa.
“kan udah ada Acha yang nungguin lo” jawab Shilla kaku sambil memaksakan seulas senyum.
“waktu itu hujan turun lumayan gede. Ify ngasih tau gue kalau lo mau pergi ke Aussie. Karena waktu penerbangan lo udah semakin mepet, gue naik motor kebut-kebutan. Sampai akhirnya ada sebuah truk yang ngehantam gue dari arah depan. Gue akhirnya bisa sadar di hari ketiga gue koma. Ada sebuah dorongan di hati gue yang terus memberika kekuatan bahwa gue harus sadar dan mengatakan apa yang  harus gue katakan. Lo tau apa itu?” tanya Alvin pada Shilla yang hanya menatapnya sambil menggeleng.
“gue suka sama lo Shill, udah dari dulu. sejak pertama gue liat lo. Lo yang bawel, lo yang ceria, lo yang apa adanya, gue suka semua yang ada di diri lo. Tapi ego gue terlalu besar Shill. Gue malah milih ngejauhin elo daripada ngerengkuh elo hanya gara-gara elo sekelas sama gue dan gue gak pingin jadi ribet. Gue nyesel banget Shill” ujar Alvin sambil menunduk.
Shilla menghela napas, “empat tahun gue kabur dari semua ini Vin, empat tahun gue berusaha membuang semua perasaan gue ke elo, rapi ternyata gue gagal” ujarnya sambil tersenyum nanar.
“kalo lo masih nunggu jawaban dari pertanyaan lo empat tahun lalu, yang lotanyakan sama gue di tempat ini, jawabannya dari dulu sampai sekarang masih sama Shill. Ya, gue juga sayang dan cinta banget sama lo Shill. Jadi apa gue terlambat?”
Shilla menatap Alvin heran, “bukan elo yang terlambat Vin, tapi gue” ujar Shilla sambil menunjuk undangan di tangan Alvin itu.
Alvin yang baru menyadarinya kontan tertawa “hahahaha, ini semua hanya karangan Rio sama Ify agar elo mau balik ke Indonesia. Lagian gue sama Acha gak pernah bener-bener jadian. Dan gimana gue bisa tunangan kalau cewek yang pengen gue ajak tunangan gak mau pulang ke Indonesia?” jelas Alvin sambil mengusap sisa air mata di wajah Shilla.
“tapi kenapa Vin? Gue masih enggak ngerti”
Alvin menatap Shilla penuh arti, “elo bener Shill, cinta bukan matematika, kimia, atau fisika. Terkadang cinta itu seperti sasatra yang gak harus lo mengerti, cukup lo nikmati aja. Jadi apa gue terlambat untuk meminta hati lo?” alvin masih menatap Shilla dan menggenggam ke dua tangannya.
Shilla hanya tersenyum dan mengangguk, “elo gak pernah terlambat Vin” jawabnya.
Alvin tersenyum dan memeluk gadis yang pernah ia lepas empat tahun lalu itu. Tapi mulai sekarang ia berjanji tak akan melepaskan gadis itu. Biar kelak maut yang memisahkan mereka. Hatinya telah memilih dan Shilla adalah pilihan yang paling tepat untuknya. Ia hanya perlu menjaganya, membiarkan segala sesuatunya mengalir sebagaimana mestinya..
Dan cinta itu kini telah berlabuh ke tempat yang semestinya...
-FINAL-
 
 
 
 
This don't copyright by me. Appreciate the author. Thankyou

0 comments:

Post a Comment

© Teenager Story❦, AllRightsReserved.