Biarkan Cinta yang Memilih (@fitaprmta)
Kenangan
bukanlah sesuatu yang harus dihilangkan..
Memori
bukanlah sesuatu yang harus dihindari..
Karena
sampai kapanpun, meski raga ini telah mati, mereka berdua akan tetap ada dan
abadi..
Walau hanya
dalam sanubari..
Shilla
melangkahkan kakinya dengan perlahan. Menelusuri dengan lekat segala sesuatu
yang tertangkap oleh matanya. Ia tak ingin meleawatkan hal-hal kecil yang telah
menjadi bagian dari “sejarah” hidupnya.
Sudah hampir
satu jam ia berada di tempat kenangan itu dalam diam dan hening. Tak ada
seorangppun yang ia temui selama hampir satu jam di sana. Tapi Shilla tetep
tidak peduli. Karena itulah yang ia butuhkan saat ini.. kesendirian..
Langkah
kakinya kini terhenti. Tepat di depan sebuah taman kecil yang sangat asri. Di
tengah taman itu ada sebuah pohon beringin yang dikelilingi bangku bangku kecil
yang disusun melingkar. Tepat di sebelah kanan, ada air mancur kecil yang
mengalirkan air mengelilingi taman itu seperti sebuah sungai.
Dari
tempatnya berdiri, Shilla dapat melihat bayangan empat anak dengan seragam
putih abu-abu yang tengah duduk di taman itu sambil menikmati makan siang
mereka. Sayup-sayup, Shilla dapat mendengar apa yang mereka bicarakan.
“eh,lihat
deh, di sana ramai banget ya” kata salah satu bayangan tersebut yang hanya
dijawab anggukan oleh teman-temannya.
“coba deh lo
bayangin, suatu saat nanti begitu kita udah lulus, lo berdiri di sini dan
menaatap ke koridor-koridor itu. Dan satu demi satu semua orang yang ada di
koridor itu menghilang. Tidak ada lagi suara orang tertawa, tidak ada lagi yang
kejar-kejaran.. semuanya hilang.. hanya ada keheningan.. pasti rasanya bakal
sedih banget yaa..” lanjutnnya.
“bayangin
itu aja gue udah sedih dan takut banget. Gue belum siap kehilangan kalian
semua. Gue masih pengen bareng kalian”
Shilla
menggelengkan kepalanya perlahan, berusaha menghilangkan sekelumit kisah masa
lalunya yang kini tiba-tiba hadir secara tiba-tiba. Ia menghela napas dan
melihat ke sekelilingnya.
‘ah ternyata
yang dikatakan Ify waktu itu benar, tak ada lagi canda tawa di sini.. hanya ada
keheningan.. keheningan yang menyesakkan..’ batinnya..
Dan entah
bagaimana caranya, dalam sekejap mata indah itu sudah di penuhi buliran air
yang siap meluncur kapan saja. Seperti halnya memori-memori yang sudah lama ia
sembunyikan di sudut otaknya, dan kini satu per satu memori itu memberontak
ingin keluar.
Shilla
sendiri tahu inilah saat yang tepat baginya dan kenangannya untuk kembali
bernostalgia. Karena kini, ia telah menyadari satu hal.. kenangan itu tak
pernah lenyap..
**Flash Back
I On**
Ketika buku
itu ku buka, kau orang pertama yang mengisinya.
Menorehkan
bias-bias kata yang terangkai menjadi syair.
Membuaiku
dalam lantunan kisah syahdu.
Ketika
pesonamu telah menjadi candu, akan kah kau hadir di kisahku?
Untuk
menggoreskan sedikit tinta cintamu?
“BRUUUK!!!”
“Aah aduh
maaf yaa.. lo enggak papa kan? Ada yang sakit nggak?” gadis itu tengah menunduk
dengan khawatir. Memperhatikan gadis lain di hadapannya yang kini tengah
terduduk atau lebih tepatnya terpaksa duduk di tanah dengan barang-barang
berserakan gara-gara insiden tabrakan yang baru saja ia alami.
Gadis yang
sedang terduduk itu kini mulai membereskan barang-barangnya, setelah semua
beres baru ia mengangkat kepalanya dengan sebuah senyuman yang terukir di wajah
cantiknya itu.
“Gue gak
papa kok” jawabnya masih dengan senyum yang terpatri di wajahnya.
“Sorry ya
gue soalnya lagi buru-buru banget. Dari tadi nyari kelas 10 A gak
ketemu-ketemu, gue jalannya jadi gak fokus deh” gadis itu kini mula menjelaskan
sambil membersihkan sisa-sisa debu yang masih menempel di roknya.
“Lo kelas 10
A juga? Sama dong gue juga kelas 10 A loh, ya udah bareng aja. Gue udah tau
kelasnya kok. Oh ya kenalin gue Ify” kata Ify sambil mengulurkan tangannya.
“wah
kebetulan sekali. Gue Ashilla, panggil aja Shilla” jawab Shilla sambil membalas
uluran tangan Ify.
Ify hanya
tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia memperhatikan
Shilla. Agak bingung juga dengan penampilan teman barunya ini yang bisa
dibilang normal atau lebih tepatnya sangat normal untuk ukuran anak yang akan
mengikuti MOS. Tidak ada pita warna-warni ataupun atribut aneh-aneh lainnya..
yang ada hanyalah rambut panjang yang diikat satu ke belakang..
“uum Shill
kok penampilan lo biasa banget sih?” tanya Ify agak ragu saat mereka berjalan
menuju kelas.
Kini Shilla
yang tampak bingung mendengar pertanyaan Ify “emang gue kenapa?” tanyanya
sambil memperhatikan seragam yang ia kenakan dari atas ke bawah.
“lo gak pake
atribut seperti yang kemaren di printahin sama kakak-kakak pengampu?”
Shilla
terdiam sejenak, diperhatikannya teman barunya itu dari atas sampai bawah.
Rambut diikat menjadi lima dengan pita warna-warni. ID card dari kertas karton
dan tas sekolahnya kini sudah berganti dengan tas plastik dengan tali
rafia warna merah putih. Kini sepertinya alaram di otaknya baru bekerja.
Berdering dengan keras hingga menyadarkannya dari kesalahan besar yang sudah ia
perbuat.
“ASTAGAAA
IFY GUE LUPA...!!!” Shilla menepuk jidatnya, mukanya kini sudah pucat. Hari
pertama MOS di SMA yang ingin dilaluinya dengan mulus kini sepertinya hanya
akan menjadi angan-angannya. “haduuuh gimana ini fy, aaah mati deeh gua sama
kakak kelass ini. Aarrgh sial banget sih gue” lanjutnya sambil mondar-mandir
dengan tatapan bingung.
“Yah gimana
dong Shill, udah mau masuk juga ini.”
Shilla
melirik jam tangannya. Ify benar jam digital yang melingkar di tangannya itu
sudah menunjukkan angka 06.55. itu berarti hanya tersisa waktu 5 menit sebelum
mimpi buruk melandanya.. “yaah pasrah deh gue” ujarnya lemas.
***
**FlashBack
I off**
Shilla
tersenyum simpul mengingat kejadian saat ia pertama kali menginjakkan kakinya
di sekolah ini. Itulah saat dimana ia mengenal Ify, sosok yang telah
menjadi sahabat karibnya selama mengarungi masa putih abu-abu. Entah sebuah
kebetulan atau memang kehendak sang takdir, mereka berdua selalu berada dalam
satu kelas, Dari mulai kelas X sampai kelas XII
Bayangan
Shilla kini melayang ke sebuah masa yang paling membahagiakan sekaligus
menyesakkan baginya. Sebuah masa yang telah ia sembunyikan rapat-rapat dalam
sudut otaknya. Semua ini terjadi ketika mereka menginjakkan kaki ke kelas XII.
Saat ia mengenal dua sosok baru dalam hidupnya. Rio dan Alvin. Sepasang sahabat
yang dengan caranya sediri dapat menyusup ke dalam persahabatan Shill-Ify.
Mengisis setiap celah dengan tawa, kebahagiaan, cinta, bahkan.... luka.
**Flash Back
II On**
“Shil..”
panggil Rio lirih. Shilla yang tengah duduk di sebelah Rio hanya menanggapinya
sederhana. Perhatiannya tak teralihkan dari novel teenlit yang baru ia beli
kemaren sore.
“shil... gue
mau cerita nih”
“Ya udah Yo
cerita aja. Emang cerita apaan sih?”
“gue mau
cerita soal.. emm itu.. soal..” Rio kini mulai terbata. Ia sendiri bingung bagaimana
harus menceritakan semua ini pada Shilla.
Shilla yang
melihat Rio berbicara sambil terbata kini memutuskan untuk menutup bukunya dan
menatap Rio tajam. “udah lah Yo, lo mau cerita tentang Ify kan? Gitu aja susah”
celetuk Shilla.
SKAK MAT!
Rio terdiam. Terpaku menatap temannya ini. Melihat ekspresi Rio yang terlihat
kaku karena kaget Shilla hanya tertawa ringan sambil kemabali berkonsentrasi
pada novelnya.
“emm itu...”
“benerkan
tebakan gue. Hahaha lo suka kan sama Ify?” sekali lagi ucapan Shilla barusan
berhasil membuat Rio terdiam untuk yang ke dua kalinya.
Rio
menggaruk kepalanya frustasi, ditatapnya Shill dengan tatapan memelas, “emang
keliatan banget ya Shill?”
Shilla hanya
trsenyum, ia menatap Rio dengan seksama “emm.. enggak sih Yo, tapi kayaknya
feeling gue yang terlalu kuat, hehe” ujarnya smabil tertawa ringan.
Rio menghela
napas, sepertinya ia memang harus jujur dengan sahabatnya ini, “iya Shill, gue
suka Ify. Jadi.. jadi lo mau kan bantuin gue? Pleaseeee...” rio mengatupkan kedua
tangannya dan menatap penuh harap ke Shilla.
“bantu lo?
Jadi gue harus jadi mak comblang gitu?” tanya Shilla yang hanya dibalas
anggukan oleh Rio.
“ya udah
deh..” jawab Shilla pasrah..
‘aaah thank
you ya Shill, lo emang sahabat gue yang paling baik. Kalau gue beneran jadian
sama Ify gue bakal bantu lo juga deh. Tinggal sebut saja lo mau gue comblangin
sama siapa.. sama Alvin mau?”
Shilla
mengerjap sesaat begitu mendengar nama itu disbut. Ia menatap Rio heran.
“bercandaa
shill” ujar Rio sambil meringis, sedangkan Shilla hanya tersenyum tipis sambil
kembali membaca novelnya.
***
Alvin
Jonathan. Sosok yang Shilla anggap sebagai angin. Sosok yang dapat ia rasakan
tapi tak bisa ia engkuh unuk ia miliki. Sosok yang bisa menyusup masuk ke dalam
hatinya lewat celah terkecil, tapi tidak dapat terus tinggal untuk mengisi
ruang kosong di hatinya. Karena sosok itu memilih itu terbang bebas, seperti
angin...
“kok kita
gak gabung sama mereka aja sih Shill?” tanya Alvin begitu Shilla mengajaknya
menjauh dari rio dan Ify. Mereka berempat kini sedang berada di sebuah danau
yang terletak di pinggir kota. Kawasan di sekitar danau ini cukup asri dengan
pohon mahoni yang tumbuh melingkari danau yang cukup luas ini.
Shilla hanya
tersenyum mendengar protes Alvin, ia menarik Alvin ke tepian danau yang cukup
jauh dari tempat Rio dan Ify. Setelah dirasa cukup, ia melepaskan gandengan
tanganya dari Alvin dan duduk di tepian danau.
“rio itu mau
PDKT sama Ify tau” uajr Shilla sambil duduk.
“hah?
Maksudnya?” tanya Alvin sambil ikut duduk di sebelah Shilla.
“iyaa Rio
itu suka sama Ify”
“yah, kok
Rio aneh sih...” ujar Alvin santai. Sedangkan Shilla yang mendengarnya kontan
menatap Alvin dengan raut muka meminta penjelasan. Alvin ynag menyadari itu
langsung melanjutkan kalimatnya.
“yaa aneh
Shill, masa suka sama anak satu kelas. Kan entar jadi serba gak enak. Apalagi
pasti entar anak-anak pada ngeledekin. Kalau gue sih males”
Shilla yang
mendengar penuturan Alvin barusan hanya diam terpaku. ‘apakah itu berarti harapan
gue untuk memiliki lo udah sirna Vin? Hanya gara-gara kita satu kelas?’
tanyanya dalam hati.
Shilla
memalingkan mukanya. Diamatinya permukaan air danau yang tenang dihadapannya.
Sekali tarikan nafas panjang dan ia mulai berujar tanpa memandang Alvin
sedikitpun.
“elo yang
aneh Vin. Masa Rio gak boleh naksir Ify hanya gara-gara mereka satu kelas.
Kitakan gak bakal tau kemana cinta kita akan berlabuh. Cinta itu gak kayak
matematika yang bisa dihitung dengan pasti. Cinta itu juga bukan kimia yang reaksinya
dapat disetarakan, cinta juga bukan fisika yang dapat dicari rumusnya. Cinta
itu gak pasti Vin” ujarnya lirih. Sebuah pernyataan yang lebih tepat disebut
sebagai “curahan hatinya sendiri” dibandingkan dengan pembelaan terhadap cinta
Rio kepada Ify. Begitu menyadarinya Shilla buru-buru menambahkan kalimat yang
diharapkannya dapat menyamarkan apa yang tadi ia utarakan “hehe susah juga sih
mengerti juara kelas kayak elo vin. Pikirannya suka aneh-aneh”.
***
Harapan itu
ada, tapi terasa hampa
Harapan itu
datang, tapi tersamar dalam petang
Harapan itu
lemah, tapi mampu menguatkan dalam lelah
Harapan itu
hadir, untuk menguatkan hati yang telah tersingkir
Alvin
memarkirkan motornya tepat di depan sebuah rumah yang cukup megah tak jauh dari
rumahnya. Rumah dengan cat warna biru muda itu tak lagi asing baginya. Hampir
setiap minggu ia sempatkan untuk mengunjungi rumah itu meskipun hanya sekedar
untuk mertegur sapa dengan sang pemilik rumah.
Setelah
melepaskan helmnya, ia mengeluarkan HP yang berada di saku jeansnya. Sesaat
setelahnya, jarinya mulai bergerak lincah di atas keypad HPnya. Dibacanya pesan
singkat itu terlebih dahulu sebelum akhirnya ia kirim ke orang yang sedang ia
tunggu.
To
:
Shilla
Waiting in
front of ur home
Come here as
soon as possible :)
Setelah
memastikan pesan itu telah terkirim, ia memasukkan kembali Handphonenya dan
beralih ke kamera SLR yang tergantung di lehernya. Tak lebih dari lima menit
sang pemilik rumah itu sudah keluar dan berjalan menghampiri Alvin.
Alvin
memperhatikan penampilan Shilla pagi ini. Jeans selutut dengan atasan kaos
warna biru muda dan dibalut dengan cardigan warna putih. Rambut panjangnya ia
biarkan tergerai dengan hiasan sebuah bando kecil warna putih yang membuat
gadis ini terlihat begitu cantik.
“udah siap
Shill?” tanyanya begitu Shilla sudah berdiri di sampingnya. Shilla hanya
tersenyum dan mengangguk.
“ya udah
cepetan naik, keburu siang nih” ujarnya sambil kembali memakai helmya. Tanoa
menunggu lagi, Shilla langsung naik ke motor Alvin begitu Alvin menyalakan
mesin motornya. Sebelum benarpbenar melaju, Alvin menoleh ke arah Shilla yang
duduk di boncengannya.
“siniin
tangan lo”
“hah?” tanya
Shilla spontan, ia tak mengerti maksud Alvin barusan.
Tanpa
aba-aba, Alvin langsung menarik ke dua tangan Shilla dan melingkarkannya di
pinggangnya. Setelah itu tanpa memberikan penjelasan sedikitpun ia langsung
melajukan motornya, membiarkan Shilla terdiam dengan perasaan yang kacau karena
jantungnya yang tak mau berdetak secara normal.
***
Sudah hampir
satu jam mereka mengambil foto pemandangan alam di kawasan perbukitan ini,
tugas bahasa Indonesia mengharuskan mereka berdua untuk berburu foto yang
kemudian akan mereka presentasikan minggu depan. Meskipun mereka berdua tidak
berada dalam satu grup, tapi entah mengapa Alvin mengajak Shilla untuk berburu
foto bersama.
Setelah puas
mengambil gambar, Shilla dan Alvin memutuskan untuk istirahat di salah satu
lembah bukit. Udara pagi ini sangat sejuk, sinar matahari juga sangar
bersahabat dengan mereka. Ke dua orang ini sibuk melihat hasil buruan mereka di
kamera masing-masing. Alvin menatap Shilla yang masih memperhatikan kameranya.
Sebuah ide yang cukup bagus lansung terlintas di pikirannya.
“Shill, foto
bareng yuk” ujar Alvin sampbil tersenyum lebar. Shilla yang masih bingung hanya
menatap Akvin dengan heran. Tanpa menunggu persetujuan Shilla, Alvin langsung
merangkul gadis itu dan.. “jepreet..” satu foto sudah terambil.
“iiih apaan
sih Vin maen ambil foto kayak gitu, gue kan belum siap” ujar Shilla sambil
mencak-mencak. Sedangkan Alvin hanya tertawa melihat hasil foto mereka berdua.
Tampak sekali wajah Shilla yang sedang bengong menatap Alvin, menimbulkan mimik
yang sangat lucu dan entah mengapa Alvin menyukai itu.
“ayoo
ulaang!!” ujar Shilla, kali ini sambil menyiapkan kameranya dan mengatur
posenya.
“ayo,
satu... Dua..” Shilla mulai menghitung mundur, sedangkn Alvin hanya menatap
pada lensa kamera “ti... gaaa...” “JEPREET..” entah dorongan darimana, pada
hitungan ke tiga Alvin mendaratkan sebuag ciuman di pipi kanan Shilla. Membuat
gadis itu diam membatu.
***
Selang
beberapa bulan entah bagaimana caranya sebuah isu bahwa Shilla dan Alvin sedang
menjalin sebuah hubungan beredar dengan cepat di kelasnya bahkan gossip ini
juga sudah mulai tersebar ke kelas-kelas lain.
Perlahan
namun pasti Shilla menyadari bahwa hubungannya dengan Alvin semakin merenggang.
Shilla tentu tahu dengan pasti bahwa Alvin tidak suka mendapatkan gossip
seperti itu dan Shillapun berusaha untuk memahami prinsip Alvin tersebut,
meskipun hatinya diselimuti luka.
Sebulan
berlalu dan Shilla harus mendapati kenyataan pahit bahwa Alvin kini tak sendiri
lagi. Dari Ify ia mengetahui fakta bahwa Alvin kini sedang PDKT dengan Acha.
Seorang gadis manis yang kini duduk di bangku kelas XI. Hal ini tentu membuat
hubungan Shilla Alvin menjadi sangat renggang. Bahkan bertegur sapapun menjadi
sesuatu yang langka.
***
Luka itu
begitu kentara
Meluluh
lantahkan hati yang telah lara
Melelehkan
jutaan kristal air mata
Membuat sang
lakon diam tak berdaya
Sore itu air
mata tak henti-hentinya mengalir dari mata Shilla. Sebuah kabar buruk yang
bahkan tak pernah ia bayangkan akan terjadi dalam mimpinya yang paling buruk
itu tiba-tiba terjadi begitu saja di hadapannya. Sebuah berita yang ia dengar
dari tantenya bahwa orangtuanya mengalami kecelakaan dan mereka meninggal di
tempat kejadian.
Sudah hampir
dua jam pula ia mengunci diri di kamar tanpa membiarkan seorangpun menemuinya,
termasuk Ify sahabatnya sendiri. Dalam perasaan yang kacau ini hanya ada satu
nama yang terlintas di pikiran Shilla. Alvin! Ya ia ingin menemui laki-laki
itu.
Tanpa
mempedulikan apapun Shilla langsung berlari keluar kamarnya, menerobos hujan
yang cukup deras di luar. Ia terus berlari menyusuri jalan menuju rumah Alvin
yang memang satu komplek dengannya. Begitu sampai di rumah Alvin, Shilla
mengetuk pintu rumah itu pelan. Tak berapa lama Alvin muncul dari balik pintu.
“Shill, lo
gak papakan?” tanyanya khawatir begitu melihat Shilla berdiri di hadapannya
dengan badan yang basah kuyup dan air mata yang masih terus mengalir. Tanpa
menjawab pertanyaan Alvin, Shilla langsung memeluk sosok itu. Hanya itu yang ia
butuhkan saat ini.
“sakit Vin..
sakit bangeet rasanya..” ujar Shilla lirih masih dengan isakan yang kentara.
“gue tau
Shill, gue tau.” Ujar Alvin berusaha menenangkan Shilla, diusapnya kepala gadis
yang ada di pelukannay itu dengan lembut. Hening.. tak ada kata yg terucap..
“kak...”
ujar suara dari balik tubuh Alvin. Shilla mendongakkan kepalanya begitu
mendengar suara gadis itu. Dilihatnya sosok Acha yang kini berdiri di belakang
Alvin. Begitu melihat sosok itu Shilla melepaskan pelukannya. Hatinya semakin
sakit, dan tanpa berpamitan ia kembali berlari menerjang hujan. Membiarkan air
matanya turut membanjiri bumi ini.
Alvin sangat
kaget melihat Shilla yang kini berlari, ada dorongan yang kuat untuk mengejar
gadis itu dan kembali merengkuhnya dalam peluknya. Tapi lagi-lagi ego itu
terlalu besar untuk ia kalahkan. Separuh hatinya tetap mempertahankan ego itu,
dan separuh lainnya ikut melebur dalam tangisan Shilla.
***
Suasana
siang ini sangat riuh. Anak-anak berlarian kesana-kemari, larut dalam canda
tawa maupun tangis bahagia. Pagi tadi mereka baru saja dinyatakan lulus dari
SMA dan itu berarti sebentar lagi mereka akan menanggalkan seragam putih
abu-abu.
Shilla
memandangi amplop putih yang baru saja ia terima dari tantenya yang berada di
Aussie. Beliau meminta Shilla untuk kuliah di sana dan tinggal bersama mereka.
Sudah hampir empat bulan berlalu dari peristiwa kecelakaan yang merenggut nyawa
ke dua orang tuanya. Jujur, ia memang ingin meninggalkan jakarta, karena ia
tidak ingin dibayang-bauangi oleh peristiwa itu. Lagi pula ia juga tak punya
saudara yang tinggal di Jakarta. Saat ini hanya ada satu hal yang masih
mengganjal keputusan Shilla untuk pergi. Cintanya.. cintanya pada Alvinlah yang
masih memberatkannya. Dan saat ini, ia akan memutuskan untuk mencari sebuah
keputusan.
***
Shilla
menghampiri Alvin yang tengah berdiri di taman kecil di belakang kelas mereka.
Ia sedang membubuhkan tanda tangannya di seragam seorang siswa yang berdiri di
hadapanya. Begitu siswa itu pergi, ia datang menghampiri Alvin yang kini duduk
di bangku taman.
“Vin gue mau
ngomong sama lo” ujar Shilla sambil ikut duduk di sebelah Alvin.
“ngomong apa
Shill?” tanya Alvin heran begitu melihat ekspresi serius di wajah Shilla.
“gue tau
mungkin ini lancang, gue tau kalau gue gak berhak atau mingkin gue gak pantes
ngomong gini sama elo. Tapi Vin.. gue.. gue..” shilla terdiam sesaat,
diremasnya amplop putih yang ada ditangannya. Sebuah amplop yang nasibnya ia
gantungkan pada jawaban yang akan diberikan Alvin.
“gue suka
sama elo Vin, gue sayang atau bahkan cinta sama elo” ujar Shilla lirih. Ia terus
menundukkan kepala, tak punya cukup keberanian untuk menatap Alvin.
Alvin yang
baru saja mendengar pengakuan Shilla itu tentu masih sangat kaget, perlahan ia
mengumpulkan kesadaran. Ia sangat bingung dengan jawaban macam apa yang harus
ia berikan, “shil.. gue..”
“sayang..
selamat ya atas kelulusannya” belum sempat Alvin menyelesaikan kalimatnya,
sebuah suara menyeruak dari hadapan mereka. Shilla yang mendengarnya langsung
mengankat kepala dan menatap sumber suara itu. Lagi-lagi Acha –gadis itu- dan
panggilan yang baru saja Acha berikan kepada Alvin sudah cukup memberikan
jawaban kepada Shilla tentang pernyataannya kepada Alvin dan nasib dari amplop
putih itu.
Dengan
perlahan Shilla berdiri dari tempatnya dan menatap Alvin dengan mata yang berkaca-kaca.
Ia tersenyum sekilas sebelum akhirnya memutuskan pergi dari tempat itu. Dan
lagi-lagi air mata itu harus ia biarkan menetes..
-Flash Back
II off-
Tanpa terasa
air mata Shilla sudah menetes. Ia masih duduk di bangku taman sekolahnya sambil
menyaksikan film masa lalu yang baru saja ia putar, sudah hampir empat tahun
tetapi Shilla sama sekali belum bisa melupakannya. Diliriknya jam tangannya.
Sudah hampir dua jam. Udara di sekitarnya juga sudah mulai dingin. Shilla
menggosok kedua tangannya pelan, berusaha menghilangkan sedikit kedinginan.
Shilla
mengerjap kaget, sebuah beda tersampir di pundaknya. Memberikan sebuah aroma
yang khas. Aroma yang dulu sering ia hirup empat tahun lalu. Dia memegang benda
itu, sebuah jaket. Dan aroma yang menyeruak dari jaket itu membuat jantungnya
kembali berdetak lebih cepat. Tubuhnya kaku. Ia sama sekali tak berani
memalingkan mukanya.
“hay Shill!
Ngapain di sini sendirian?” sapa suara itu. Shilla membatu, sapaan itu masih
sama, suara itu juga masih sama. Dengan ragu ia memalingkan mukanya. Teoat di
sebelahnya Alvin tengah berdiri dengan senyum khasnya.
“boleh ikut
duduk?” tanyanya, sedangkan Shilla hanya mengangguk kaku sebagai jawabannya.
“elo apa
kabar Shill? Lama gak keliatan”
“baik” jawab
Shilla singkat. Jujur ia tak menyangka akan secanggung dan segugup ini ketika
berhadapan lagi dengan Alvin.
Shilla
menatap sebuah undangan kecil yang tengah ia genggam. Undangan yang membuatnya
rela-rela datang dari Aussie dan membongkar semua kenangan pahitnya.
“emm.. Vin,
selamat ya atas pertunangan lo” ujar Shilla lirih.
Alvin
menatap Shilla heran “pertunangan?” tanyanya ragu. Sedangkan Shilla hanya
mengangguk sambil menyerahkan undangan yang ada di tangannya.
Alvin
menatap undangan itu “dari Rio?” tanyanya, sedangkan Shilla hanya mengangguk.
Alvin hanya tersenyum, sepertinya ia mengerti apa maksud dari semua ini.
“hari saat
lo pergi adalah hari dimana gue kecelakaan dan harus koma selama tiga hari
Shill” shilla tersentak, Ia tak menyangka Alvin akan membicarakan ini.
Sejujurnya ia sudah mengetahui ini. Ify yang memberi tahunya saat ia hendak
pergi ke bandara.
“kok lo
jahat sih Shill, gak jenguk gue sama sekali. Padahal gue pengen banget ketemu
elo, hehe” ujarnya sambil tertawa.
“kan udah
ada Acha yang nungguin lo” jawab Shilla kaku sambil memaksakan seulas senyum.
“waktu itu
hujan turun lumayan gede. Ify ngasih tau gue kalau lo mau pergi ke Aussie.
Karena waktu penerbangan lo udah semakin mepet, gue naik motor kebut-kebutan.
Sampai akhirnya ada sebuah truk yang ngehantam gue dari arah depan. Gue
akhirnya bisa sadar di hari ketiga gue koma. Ada sebuah dorongan di hati gue
yang terus memberika kekuatan bahwa gue harus sadar dan mengatakan apa
yang harus gue katakan. Lo tau apa itu?” tanya Alvin pada Shilla yang
hanya menatapnya sambil menggeleng.
“gue suka
sama lo Shill, udah dari dulu. sejak pertama gue liat lo. Lo yang bawel, lo
yang ceria, lo yang apa adanya, gue suka semua yang ada di diri lo. Tapi ego
gue terlalu besar Shill. Gue malah milih ngejauhin elo daripada ngerengkuh elo
hanya gara-gara elo sekelas sama gue dan gue gak pingin jadi ribet. Gue nyesel
banget Shill” ujar Alvin sambil menunduk.
Shilla
menghela napas, “empat tahun gue kabur dari semua ini Vin, empat tahun gue
berusaha membuang semua perasaan gue ke elo, rapi ternyata gue gagal” ujarnya
sambil tersenyum nanar.
“kalo lo
masih nunggu jawaban dari pertanyaan lo empat tahun lalu, yang lotanyakan sama
gue di tempat ini, jawabannya dari dulu sampai sekarang masih sama Shill. Ya,
gue juga sayang dan cinta banget sama lo Shill. Jadi apa gue terlambat?”
Shilla
menatap Alvin heran, “bukan elo yang terlambat Vin, tapi gue” ujar Shilla
sambil menunjuk undangan di tangan Alvin itu.
Alvin yang
baru menyadarinya kontan tertawa “hahahaha, ini semua hanya karangan Rio sama
Ify agar elo mau balik ke Indonesia. Lagian gue sama Acha gak pernah
bener-bener jadian. Dan gimana gue bisa tunangan kalau cewek yang pengen gue
ajak tunangan gak mau pulang ke Indonesia?” jelas Alvin sambil mengusap sisa air
mata di wajah Shilla.
“tapi kenapa
Vin? Gue masih enggak ngerti”
Alvin
menatap Shilla penuh arti, “elo bener Shill, cinta bukan matematika, kimia,
atau fisika. Terkadang cinta itu seperti sasatra yang gak harus lo mengerti,
cukup lo nikmati aja. Jadi apa gue terlambat untuk meminta hati lo?” alvin
masih menatap Shilla dan menggenggam ke dua tangannya.
Shilla hanya
tersenyum dan mengangguk, “elo gak pernah terlambat Vin” jawabnya.
Alvin
tersenyum dan memeluk gadis yang pernah ia lepas empat tahun lalu itu. Tapi
mulai sekarang ia berjanji tak akan melepaskan gadis itu. Biar kelak maut yang
memisahkan mereka. Hatinya telah memilih dan Shilla adalah pilihan yang paling
tepat untuknya. Ia hanya perlu menjaganya, membiarkan segala sesuatunya
mengalir sebagaimana mestinya..
Dan cinta
itu kini telah berlabuh ke tempat yang semestinya...
-FINAL-
This don't copyright by me. Appreciate the author. Thankyou
0 comments:
Post a Comment