Mission (@AF_Defi)
“Namanya Alvin Jeremy.”
Manik coklat gelap itu menatap lekat-lekat
selembar foto di tangannya. Sementara telinganya terfokus pada kata demi kata
yang terlontar dari mulut sang Ayah, Ayah kandungnya.
“Dengarkan...”
Gadis itu mendongak. Menampakkan wajah cantik
menawannya yang terlihat siluet akibat sinar matahari sore merambat lurus
menembus jendela besar di sampingnya. Angin yang berhembus-hembus nakal
menyelonong masuk dari celah jendela, menggerakkan mahkota kepalanya yang
terikat satu dengan asal.
Manik matanya yang coklat gelap sangat cocok
bersanding dengan hidung kecil namun mancung, dengan bibir delima berwarna
merah pekat bagai darah, dan dengan kulit putih yang kelewat putih —yang justru menunjukkan kesan pucat. Wajahnya datar
dengan tatapan yang kian menajam. Namun, tetap tidak menenggelamkan paras
cantik milik gadis bercardigan hitam saat ini.
Lelaki paruh baya di belakang meja bundar itu
menyeringai, menantang tatapan tajam ‘Putri Kesayangannya’ . Meski itu setajam
pedang bermata dua, tetap tak berarti apapun baginya. Ia sangat paham, putrinya ini seorang yang kooperatif.
“Dekati dia.”
Matanya kembali menatap foto di tangannya.
Dia, seorang Alvin Jeremy.
“Mengendaplah dalam hidupnya.”
Lelaki bermata sedikit sipit, dengan manik
hitam pekat menghuni di dalamnya.
“Curi dan genggam hatinya.”
Hidungnya yang mancung. Bibirnya yang tipis.
Dengan paras oriental berkulit putih.
“Kemudian...”
Ini tak dapat dipungkiri, dia sangat tampan.
WUSSHHHH
“...Bunuh dia tepat di jantungnya.”
***
Mission
***
Wajahnya tampak tenang. Begitupun dengan
langkah kaki jenjangnya yang tertutupi jeans berwarna hitam. Dibahunya
tersampir tas selempang berwarna Baby Blue, sementara tangannya memeluk
beberapa buku tepat di depan dada.
Seperti biasa, coklat gelap itu menatap dengan
awas apapun yang ada di sekitarnya, berusaha menyembunyikan ketajaman itu
rapat-rapat. Dalam telinganya, sebuah pesan yang ia terima pagi ini terputar
kembali. Seolah mengingatkannya agar tidak lupa. Tidak lengah. Tidak salah
langkah.
Dia menghela napas sebentar, kemudian beralih
menatap jam tangannya. Dan setelahnya ia mempercepat langkahnya.
BRUUUKK
Dua tubuh manusia itu berbenturan, saling
menjauh lagi dan terjatuh bersamaan dalam seperkian detik. Buku dalam
pelukannya berserakan, yang kemudian dengan sigap telah tersusun lagi dalam
pelukannya. Satu buku lagi yang belum ia ambil, dan buku itu berada tepat di
depan sepasang sepatu, dengan sang empunya yang nampak sudah berdiri lebih dulu
selepas insiden barusan.
Gadis itu segera mengambilnya dan menaruhnya
dalam pelukannya. Buru-buru ia berdiri, mendongak untuk melihat pelaku —atau korban?— dalam Insiden yang baru saja terjadi.
Tangan kirinya menyibak poninya sejenak sebelum akhirnya menumbukan coklap
gelapnya pada sepasang hitam pekat di hadapannya.
Hidung kecil namun mancung itu menahan napas
kala mendapati apa yang ia lihat dengan kepala matanya sendiri. Lelaki bermata
sedikit sipit, dengan manik hitam pekat menghuni di dalamnya. Hidungnya yang mancung.
Bibirnya yang tipis. Dengan paras oriental berkulit putih.
Alvin Jeremy.
Keduanya terdiam cukup lama. Tak ada yang
berani menginterupsi duluan. Desah angin di sekitar mencoba mengajak mereka
mengeluarkan suara, sayangnya sia-sia. Bungkam seribu bahasa, namun mata mereka
seolah saling berbicara. Meski tak ada Doraemon dengan mesin waktunya sekarang,
tapi mereka seperti merasa waktu terhenti cukup lama. Cukup lama hingga
sepertinya kebisuan ini harus segera berakhir.
“Ehm... Maaf aku tidak sengaja.” Lelaki itu
menggaruk tengkuknya. “Sekali lagi maaf rrr...siapa namamu?”
Gadis itu menghembuskan napas panjang. Matanya
bergerak-gerak gugup meski wajahnya tetap datar, sama sekali tak kunjung
berubah. Ada yang aneh di sini.
“Shilla, Ferly Ashilla.”
“Ah, maaf Shilla. Namaku, Alvin Jeremy.”
Shilla meneliti sosok di hadapannya dari ujung
kepala hingga ujung kaki. Alvin Jeremy, Shilla sudah mengetahuinya lebih dulu.
Bahkan seluk beluk Alvin yang tak terpublish juga sudah ia pahami. Alvin
Jeremy, Mahasiswa semester 3 jurusan Managemen Bisnis. Alvin Jeremy, anak
tunggal dari pasangan Tuan dan Nyonya Jeremy. Alvin Jeremy, Pewaris tunggal
bisnis keluarga Jeremy. Alvin Jeremy, lelaki yang lebih suka menganggap dirinya
sebagai ‘anak-ayahnya’ daripada ‘anak-Tuan-Jeremy-Pebisnis-Sukses-Nan-Terkenal’,
dia tidak sombong dan sederhana. Itu hanya sebagian yang akan disebutkan,
sementara sisanya lebih baik ditulis daripada disebutkan.
“Permisi?” Tangan Alvin berkibas di depan
wajah Shilla. Gadis itu tersentak bersama dengan pemikirannya yang amburadul
seketika. Wajahnya masih datar, meski pada nyatanya ia merutuk dalam hati atas
kebodohannya.
“Ah-Oh-Iya, tidak masalah, mmm...Alvin.”
Tangan Alvin mundur dari posisinya, kemudian
beralih pada tengkuknya untuk sekedar menggaruknya meski itu tidak gatal.
Seulas senyum bersahabat terulas di wajah Alvin. Shilla terpana untuk sejenak.
Hanya sejenak, karena detik berikutnya ia buru-buru menyadarkan diri.
“Salam kenal, Shilla.”
“Ya.”
***
Kedua mata Shilla fokus memperhatikan jajaran
buku di hadapannya. Sesekali diambilnya salah
satu buku di sana, kemudian ditaruhnya kembali dengan senyum miris. Dulu Shilla
bercita-cita ingin menjadi dokter, sama seperti kebanyakan cita-cita anak
sebayanya. Kenapa? Karena ia ingin menyembuhkan teman-temannya? Tidak juga.
Shilla dulu punya Ibu, iya, dulu sekali ketika ia masih belajar di taman
kanak-kanak. Ia memang masih kecil kala itu, tapi bukan berarti ia bisa
dibodohi. Ia bahkan mengetahui penyebab kematian ibunya. Ibunya yang ternyata
lebih dulu pergi sebelum ia berhasil menjadi dokter.
Lantas, apa setelah itu cita-citanya sirna?
Tidak. Tidak sama sekali. Justru karena itu ia semakin ingin menjadi seorang
dokter. Menyembuhkan orang-orang, agar bisa membuat ibunya bangga padanya.
Tapi...dalam perjalanan waktu, lingkungan sekitarnya justru membentuknya
menjadi pribadi yang melenceng dari harapan awal. Mengingat ia sekarang menjadi
apa justru membuat ia merasa miris. Keinginan
tidak sesuai kenyataan.
Ini buku keempat yang Shilla ambil, dan pada
akhirnya bernasib sama dengan yang sebelumnya —kembali ke tempat semula tanpa sempat dibaca. Percuma
saja, pikirnya. Nasi telah menjadi bubur, arang telah menjadi abu, semuanya
sudah menjadi hal yang tabu. Tak dapat kembali seperti semula dan menjadi
sesuai harapan. Begitu kan siklusnya?
Ia membalik badan. Matanya membulat dan
nafasnya tertahan seketika ketika puncak kepalanya terantuk dagu dengan rahang
yang tegas. Shilla menghembuskan napas sebentar sebelum akhirnya mendongak. Alvin
Jeremy.
“Aku sedang mencarikan buku tentang kedokteran
untuk temanku. Hari ini dia tidak masuk, hah... merepotkan. Kamu sendiri sedang
apa?”
Shilla mengangkat wajahnya, coklat gelapnya
bersibobrok dengan si onyx. “Tidak ada, hanya sedang ingin kemari.”
Entah bagaimana bisa, setelah Shilla
mengetahui sosok si pemilik dagu itu adalah Alvin, mereka jadi duduk berhadapan
di meja perpustakaan dekat jendela. Tak ada buku menemani mereka, hanya
mengobrol ringan di perpustakaan. Mungkin tak ada salahnya menyalahgunakan
fungsi perpustakaan. Ah, benarkah begitu?
***
Katakan bahwa telinganya salah mendengar.
Katakan bahwa nefronnya tidak sedang berfungsi dengan baik. Katakan bahwa
tubuhnya sedang dalam bayang-bayang mimpi. Katakan sekarang!
Ia menoleh cepat pada sosok di sampingnya.
Wajah oriental itu menghadap lurus dengan matahari yang tengah beranjak ke
peraduan. Semburat jingga menimpa wajahnya dengan indah. Angin laut mengisi
suasana di antaranya. Jadi, untuk ini Alvin mengajaknya ke pantai?
Shilla sungguh jelas merasakan dadanya
bergemuruh. Darahnya memanas, dan terasa paling panas di sekitar daerah
wajahnya. Hatinya berdesir seirama dengan detak jantungnya yang berdetak cepat.
Tidak, ini salah! Tidah seharusnya Shilla begini! Ini aneh! Demi apapun, bahkan
baru 4 bulan setelah pertemuan mereka.
“A-a-apa?” Shilla tergagap. Shilla telah lupa
dan ia lengah.
“Aku mencintaimu, Shilla. Jadilah kekasihku?”
Alvin menoleh dengan seulas senyum menawan.
Jangan menoleh. Tidak! Atau kau akan lupa,
lengah dan kemudian salah langkah. Shilla mati-matian untuk menahan hasratnya
agar tidak menoleh. Jangan lagi lupa dan juga lengah apalagi salah langkah.
Sesuatu dalam diri Shilla sudah terlalalu jauh.
Manik coklat gelap Shilla perlahan tertutup
oleh kelopak mata Shilla. Ia mencoba berfikir jernih dalam pejaman matanya.
Semuanya harus dipikirkan matang-matang. Jangan lagi salah, Shilla. ingat
tujuan Awal. Mati-matian Shilla memperingatkan dirinya.
“Baiklah.”
Senyum Alvin terkembang lebar. Benarkah
cintanya terbalas? Shilla telah menjadi kekasihnya?
“Aku mencintaimu.”
“Ya.”
Tidak ada balasan, meski Shilla ingin, sama
sekali tidak ada. Hanya menanggapi dan setidaknya itu cukup. Shilla sudah
terlalu jauh salah langkah. Jangan melangkah lebih jauh lagi.
Tidak dan semuanya aman.
***
CUP
Seperti biasa, Shilla masih bertahan di balik
topeng datarnya ketika Alvin mendaratkan kecupan ringan di pucuk kepalanya.
Sementara Alvin tetap mengulas senyum. Bohong jika Alvin tidak sadar, sejak
awal ia sudah merasa ada yang aneh dari Shilla. Ia jelas merasakan itu. Toh,
pada akhirnya ia tetap tidak peduli pada apapun. Shilla menjadi kekasihnya, itu
sudah cukup. Alvin tidak menuntut balas apapun atas rasa cintanya.
Jika memang Shilla belum —atau mungkin tidak?— mencintainya, bagi Alvin ini mudah. Sama halnya seperti
menanam. Cinta seperti sebuah bibit, cinta mudah ditanam jika dirawat dengan
baik, dan tentunya ditanam dalam tanah yang cocok. Mungkinkah hati Alvin itu
adalah tanah yang cocok? Tidak peduli iya atau tidak, Alvin akan tetap
berusaha. Cinta telah membuatnya jadi begini.
“Masuklah, ini sudah malam.”
Shilla mengangguk, tersenyum sekilas dan
kemudian berbalik badan sesuai perintah Alvin.
“Shill...” Alvin berujar, membuat Shilla
dengan gerakan ragu menghadapkan tubuhnya lagi ke Alvin. Alvin masih dalam
posisinya, di atas motornya, tak bergeser sedikitpun.
“Aku...” Alvin meneguk ludahnya sendiri.
Shilla? Gadis itu pintar sekali bersembunyi di
balik topeng sempurnanya sekarang.
“Aku... aku pulang dulu.”
Hanya sebuah anggukan dengan senyum sekilas
yang Alvin dapat setelahnya. Alvin mendesah dalam diam, memandang kecewa
punggung Shilla yang kian menjauh dari hadapannya. Alvin tidak meminta sebuah
pelukan hangat maupun sebuah kecupan manis. Tapi, setidaknya katakan sesuatu
yang membuat Alvin tenang.
Merasa memang percuma, ia memulai menghidupkan
mesin motornya. Shilla telah benar-benar menghilang dari hadapannya, ia tidak
akan mendengar apapun saat ini dari bibir Shilla. Percuma saja. Roda dua itu
mulai bergerak dengan seiring desahan kecewa dari Alvin.
Setidaknya, katakan bahwa kau mencintaiku.
***
Pintu bercat seputih tulang itu terbuka
kembali, seseorang yang sedari tadi menunggu di balik pintu menyembulkan
tubuhnya. Penglihatannya fokus menatap kendaraan beroda dua yang baru saja
menghilang di balik tikungan dan meninggalkan asapnya saja. Gadis itu tersenyum
miris, juga sakit.
‘Hati-hati di jalan. Aku mencintaimu.’
Kalimat itu akhirnya terucap juga. Yang sedari
tadi ditahannya terlepas juga. Meski tidak secara langsung di hadapannya,
beginipun sudah cukup. Ya, karena dengan begini semuanya tetap aman dan
terkendali.
Shilla menutup pintu rumahnya untuk yang kedua
kalinya. Membalik badan dengan hati-hati lantas menyandarkan punggungnya pada
pintu. Matanya melirik ke langit-langit rumahnya. Lagi-lagi ia menghela napas,
entahlah akhir-akhir ini ia sering sekali menghela napas. Jengah. Kapan ini
akan segera berakhir, itu yang selalu Shilla tanyakan dalam hati usai menghela
napas.
“Ciuman yang manis, hm?”
Suara berat itu menghentikan langkah Shilla
ketika melewati ruang tamu, tepat saat kaki kanannya baru saja menapaki anak
tangga pertama. Shilla tidak berniat sama sekali menyahut apalagi menoleh untuk
sekedar sentuhan hormat pada orang tua. Terlalu lelah untuk hari ini. Menoleh
sekali saja, semuanya akan semakin terasa melelahkan.
Di belakang sana, lelaki paruh baya itu
memperhatikan lekat-lekat punggung putrinya yang semakin hari semakin tumbuh
dewasa. Pandangannya tajam dengan aura hitam di sekitarnya. Mengerikan. Dengan
sekali melihat saja, semua orang pun akan bergidik ngeri. Dan orang pun akan
tahu darimana Shilla mendapatkan tatapan matanya yang tajam.
“Shilla... Jangan pernah melanggar aturan
mainnya.” Ucap sang Ayah dengan kalem, namun menohok.
Shilla tersentak kecil. Jelas sekali maksud
dari kalimat ayahnya. Diam-diam Shilla tersenyum kecut. Alih-alih tersenyum, ia
mengangguk tanpa menoleh barang seinci pun, terlalu lelah untuk itu, ingat?
Shilla mengerti, dan Shilla tahu.
“Aku tau, Ayah.”
Shilla tahu bahwa ia memang telah jatuh
cinta.
***
Mata elang berwarna coklat gelap milik Shilla
bergerak gelisah. Sesekali memandang jalan setapak di belakangnya yang kemudian
bertumpu lagi pada mobil hitam metalik di depan sana. Entah mengapa ia
merasakan rasa takut yang begitu besar saat ini. Terlebih lagi saat ia
mendapati beberapa pasang mata memperhatikannya dari dalam mobil itu. Hingga
pada akhirnya, fokus mata Shilla tertuju pada tanah yang dipijakinya saat ini,
berharap tanah itu menenggelamkannya sekarang juga.
Oh, Waktu bergerak mundurlah, atau... berhenti
saja.
SRET
Gelap.
Apa matahari meredup?
Cukup terkejut juga saat mendapati pandangannya
mendadak gelap. Sayangnya, itu tak berlangsung lama, karena setelah itu tangan
Shilla merambat perlahan ke bagian wajahnya, dan menemukan tangan kekar
melingkari matanya. Shilla tersenyum tipis, hampir tak terlihat.
“Alvin?”
Seseorang di belakang Shilla terkekeh, lantas
setelahnya mengacak rambut Shilla kemudian merangkul dan menarik Shilla untuk
mendekat.
“Kamu tau, ya?” Dia terkekeh lagi, Shilla yang
melihatnya hanya tersenyum.
Kini tangan Alvin membingkai wajah cantik
Shilla. Tersenyum sebentar, sebelum akhirnya berganti menjadi muram. “Aku...
lama, ya? Maaf, ya.”
Shilla terdiam. Matanya lekat memandang wajah
Alvin. Merekam tiap inci sosok di hadapannya dengan sangat baik. Takut-takut
jika esok tak dapat melihatnya lagi, atau bahkan justru takkan pernah
melihatnya lagi, yang berarti ini hari terakhirnya. Bibir Shilla bergetar,
alih-alih getaran itu berhenti karena Shilla menggigitnya
kuat-kuat. Seandainya Alvin tahu, Shilla amat takut saat ini.
“Hei, Shill—“
GREP
Tangan Alvin membentang lebar begitu juga
dengan mulutnya yang menganga. Matanya yang sipit terpaksa membulat —meski hasilnya sia-sia— karena begitu terkejut dengan
pelukan Shilla yang tiba-tiba.
Butuh waktu lama untuk saraf-saraf Alvin
mencerna apa yang terjadi. Hingga Alvin merasakan pelukan Shilla mengerat,
barulah ia dapat menyimpulkan semuanya.
Alvin tersenyum bahagia. Tangannya perlahan
ikut melingkar di tubuh Shilla yang tidak lebih tinggi darinya. Mengusap
punggung yang terasa begitu rapuh itu dengan lembut. Dalam pelukan ini, tak
terlihat namun terasa, mereka menyalurkan perasaan mereka masing-masing.
Hangat.
Cinta yang sederhana itu memang benar nyata.
Hanya melalui sebuah pelukan ringan, kekuatan cinta itu begitu terasa. Tidak
perlu kata-kata romantis jika berikutnya hanyalah omong kosong belaka. Tidak
perlu mengikat janji jika berujung dengan pengingkaran dan air mata. Juga tidak
perlu benda pengikat jika pada akhirnya menggores luka. Cinta tidak perlu
sesuatu yang berlebihan. Ketulusan dan kesederhanaanlah yang membuat cinta
menjadi sesuatu yang terlihat ‘LEBIH’.
Begitu juga halnya dengan Alvin. Cinta Alvin
hanya memerlukan balasan dari Shilla, bukan kata-kata yang omong kosong, janji
yang palsu, apalagi benda pengikat yang justru menyiksa. Karena bagi Alvin, aku
mencintaimu dan kamu mencintaiku. Aku tulus, kamu pun tulus. Aku menerimamu dan
kamu menerimaku. Sederhana.
Dalam dekapan Alvin, kaki Shilla gemetar,
itulah mengapa ia mengeratkan pelukannya. Shilla terlalu peka, hingga makhluk
hidup di belakang sana yang berjalan mendekat pun Shilla merasakannya.
SRET
BUGH
DUAGHH
Dua pria bertopeng dengan tubuh kekar menarik
Shilla dari pelukan Alvin. Alvin yang melihatnya seketika merasa marah, ingin
menyerang jika saja dua orang lagi tidak menahannya. Dengan beringas, Alvin
memberontak. Sayangnya, Alvin jelas melakukan hal yang justru sia-sia, tenaga
Alvin berbanding jauh dengan dua orang pria tersebut.
Sementara itu, Shilla justru terlihat
pasrah-pasrah saja ketika tubuhnya diseret paksa dua pria yang sejujurnya,
Shilla mengenalnya. Ia tahu ini akan terjadi. Dan inilah hal yang benar-benar
membuat Shilla merasa takut sedari tadi.
Shilla menoleh cepat ketika mendengar Alvin
meneriaki namanya berkali-kali. Wajah Alvin sudah babak belur dengan memar di
ujung bibirnya dan luka berdarah di pelipisnya. Tubuh Shilla semakin bergetar,
nuraninya memerintah kaki Shilla untuk berbalik dan menghampiri Alvin. Baru
saja ingin melangkah, Shilla harus ditarik paksa lagi untuk masuk ke dalam
mobil. Meninggalkan Alvin yang masih ditangani —Disiksa lebih tepatnya— oleh
dua pria kekar. Shilla yakin itu... Bodyguard ayahnya.
Di dalam mobil, dua lelaki yang menangani
Shilla itu menghempaskan tubuh Shilla ke jok belakang dengan kasar. Shilla
mendengus begitu terhempas. Dan baru saja hendak mengeluarkan protes, mulut
Shilla bungkam begitu saja ketika dihujami tatapan beraura hitam menyeramkan
dari Ayahnya yang duduk di sebelahnya.
Shilla akhirnya memalingkan wajah menjadi
menghadap jendela. Hampir saja kaca di samping Shilla pecah jika saja Shilla tidak ingat dimana dan dengan siapa dia
sekarang. Bibir Shilla lagi-lagi bergetar melihat pemandangan di luar sana.
Tulang belikat Alvin yang dihantam keras dengan siku, perut Alvin yang dihujani
kepalan tangan juga tidak lupa wajahnya hingga membuat wajah Alvin bermandikan
darah. Puncaknya ketika Alvin memuntahkan darah dan kemudian tak sadarkan diri.
Saat itu juga, Shilla ingin melakukan sesuatu, tapi urung.
Tidak boleh! Sudah sejauh ini, dan ini janjinya.
***
Dua lelaki itu masih betah beradu pandangan
tajam satu sama lain. Tak sedikitpun beranjak dari posisi mereka yang berdiri
di atap sebuah gedung. Salah satu dari mereka mengepalkan tangannya keras,
menahan sebuah amarah yang memusat di sana. Sementara yang satu lagi,
menggertakkan giginya, menampakkan rahang tegas yang menantang.
Gabriel —sosok yang mengepalkan tangannya— membuang wajah pada akhirnya, napasnya naik-turun akibat
menahan amarah juga menahan diri untuk tidak melayangkan kepalan tangan pada wajah di depannya.
“Sivia istriku. Berhentilah mengganggu kami,
Riko Jeremy!”
Riko —Lelaki dengan
rahang tegas yang menantang—menyeringai. Wajahnya mulai melunak, tidak setegang
tadi. Seraya memasukkan kedua tangannya pada saku celananya, ia beranjak pergi.
Pergi tanpa peduli dengan Gabriel,
Sahabatnya—yang sekarang menjadi musuh terbesarnya— dengan wajah merah padam.
“Jika aku tidak bisa memilikinya, begitu juga
denganmu. Ini adil. Aku akan membuat kita tidak ada yang memiliki Sivia. Aku,
maupun dirimu, Gabriel Miracle. Tidak ada dan tidak boleh.”
Gabriel menggeram.
“Well, kupikir akan lebih seru lagi melihat
putrimu tumbuh dewasa tanpa seorang ibu.”
BUGH
“Ayah?”
Siaran ulang di masa lalu pada benak Gabriel
terputus seketika kala sebuah suara mengusik masuk ke dalam telinganya. Gabriel
mengusap wajahnya, lantas mengangkat wajahnya untuk sekedar menoleh pada sumber
suara. Wajahnya tampak datar, ah lebih tepatnya berpura-pura datar jika
diperhatikan lekat. Sosok yang di panggil dengan sebutan Ayah oleh Shilla
menegapkan posisi duduknya dengan tenang, seolah tak ada yang membebaninya saat
ini. Ah, ternyata kepandaian berpura-pura milik Shilla diturunkan dari ayahnya.
“Apa yang ayah pikirkan?”
“Tidak ada.”
Shilla mengangkat sebelah alisnya, nampak
tidak puas dengan jawaban Ayahnya. Sejak kecil, lebih tepatnya sejak Ibunya
berpulang, Ayahnyalah yang memegang peran ‘Ayah dan Ibu’ dalam hidupnya. Dan
hal ini membuat Shilla sangat mengenal sosok Ayahnya luar dan dalam. Wajar saja
jika ia merasa ada yang aneh pada ayahnya.
Baiklah, Shilla menghela napas. Jika dalam
situasi seperti ini, lebih baik mengunci mulut untuk tidak bertanya lebih
lanjut. Shilla sangat mengenali ayahnya. Ada sesuatu yang tidak bisa dibagi
dengannya. Shilla mengerti itu.
“Shilla, kamu mencintainya?”
Gadis bersurai hitam legam yang baru saja
mendudukkan diri di samping Ayahnya merespon dengan kebisuan. Matanya memandang
ayahnya sebentar, kemudian beralih menatap sosok tak berdaya yang terikat pada
kursi di tengah ruangan. Shilla menghirup napas sebanyak-banyaknya, berusaha
mengisi kesesakan pada paru-parunya, lantas menghembuskannya dengan kasar.
“Jangan bertanya, Ayah.”
Karena mencintainya atau tidak, semuanya tetap
tidak akan berubah. Bukankah begitu aturan mainnya?
***
BUGH
Alvin meringis merasakan nyeri di pipi bagian
kirinya. Tubuhnya benar-benar lemas, bahkan ia tidak merasakan adanya energi
dalam tubuhnya, yang ada hanyalah rasa sakit dan nyeri di tubuhnya. Jadi,
melawan pun Alvin tak bisa jika tubuhnya lemas dengan kondisi seperti sekarang.
“Kenapa Anda mel—“
DUAGH
Kali ini tepat di perutnya, lutut dengan betis
berotot di bawahnya menghantam tanpa ampun. Alvin terbatuk-terbatuk dengan
napas yang sudah kembang-kempis. Dan ketika terbatuk sekali lagi, Alvin
mendapatkan bercak darah pada telapak tangannya. Seolah tidak peduli, Alvin
mengangkat wajahnya, menatap lelaki yang nampak duduk tenang di kursinya.
Seraya tersenyum, Alvin terbatuk lagi, “Kenapa anda melakukan ini pada saya,
Tuan? Uhuk.”
Laki-laki paruh baya itu menyeringai, “Untuk
menebus nyawa dengan nyawa.”
BUGH
BUGH
DUAGH
Kini baik pipi kanan maupun pipi kiri Alvin
mendapat satu tonjokan Cuma-Cuma yang meninggalkan bekas biru kehitam-hitaman
di wajah orientalnya. Belum sampai di situ, karena setelahnya Pria berbadan
kekar yang sedari tadi menghajarnya, mencengkeram kerah baju Alvin dengan kuat lalu melemparnya kasar hingga membentur tembok. Ia
sempat mendengar sesuatu yang patah sebelum akhirnya rasa sakit melingkup tubuhnya,
LAGI.
“Dengar...”
Dengan Susah payah Alvin mendongakkan
wajahnya.
“Ayahmu, Riko Jeremy, telah merebut nyawa
istriku.”
BUGH
SRET
BRAK
Wajah Alvin telah benar-benar babak belur.
Kerah Alvin dicengkeram lagi, dan kemudian di lempar lagi ke pojok ruangan.
Lelaki berwajah oriental itu tersungkur dengan darah yang memancar dari sudut
bibirnya. Sekujur tubuhnya sudah bermandikan keringat yang telah bercampur
menjadi satu dengan darah dari beberapa luka. Tubuhnya benar-benar hanya
merasakan rasa sakit yang mendera begitu hebat.
“Berhenti.” Gabriel melipat tangannya di dada,
memandang remeh sosok Alvin yang benar-benar mengenaskan. Alih-alih begitu,
Gabriel menoleh pada putrinya yang sedari tadi berdiri di sampingnya dengan
kaki gemetar.
“Peluk dia.”
Shilla menatap Ayahnya lekat-lekat, sementara
yang ditatap bersikap tidak peduli. Kini tubuh Ayahnya sudah menghadap jendela
dan membelakangi tubuhnya. Dialihkan pandangannya, seketika Shilla merasa lemas
melihat pemandangan ini. Kaki dan bibirnya sudah gemetar sedari tadi.
Kini bibir tak berdosa itu tergigit keras oleh
gigi bagian atas, sementara kakinya yang gemetar mencoba melangkah meski terasa
berat
Lakukan atau tidak sama sekali.
“A-a-alvin?” dengan bibir gemetar nama Alvin
terlontar dari bibir semerah darah milik Shilla.
Alvin dengan sisa tenaganya mengangkat
wajahnya guna menatap wajah Shilla. Dan senyum penuh sayang terulas di wajah
yang telah babak belur ketika tubuh Shilla mendekap Alvin dengan erat.
“Shilla...”
Pelukan Shilla mengencang sebelum ia berujar
lirih, “Maaf.”
“Shilla, apa kamu masih mengingat pertemuan
pertama kita?”
Shilla terdiam sebentar, mengangguk pelan dan
mengucapkan kata sebelumnya dengan lirih, “Maaf.”
“Saat itu, kita bertemu dalam sebuah insiden
kecil. Lucu ya.”
“Maaf.”
“Setelah itu, entah bagaimana bisa kita saling
kenal.”
“Maaf.”
“Lalu, aku mencintaimu. Sungguh, itu terlalu
ajaib mengingat kita hanya mengalami pendekatan selama 4 bulan. Cinta itu...
aneh ya, Shill?”
“Maaf.”
“Dan karena cinta, kita menjadi sepasang
kekasih sampai sekarang. Sungguh... sebuah keajaiban ya, Shill?”
Shilla terdiam cukup lama. Karena cinta, kita menjadi sepasang kekasih sampai
sekarang? Shilla
merasa tertohok mendengarnya. Karena cinta? Shilla tidak mengerti bagian yang
mana yang disebut cinta jika Shilla melakukan hal sejauh ini? Ini terlalu fana
disebut cinta. Cinta tidak begini. Sungguh! Ini bukanlah cinta.
Dan pada akhirnya, masih kata yang sama yang
mampu Shilla ucapkan, “Maaf.”
Alvin merengkuh tubuh gemetar itu lebih dalam.
Matanya terpejam, dibaliknya sebuah film masa lalu terputar jelas dalam
benaknya. Alvin mengingat kembali saat itu, saat dimana ia dengan ceroboh
bertabrakan dengan Shilla di tikungan koridor kampus. Ini terlalu konyol, tapi
Alvin menyukainya, ia masih mengingatnya dengan jelas.
Film itu masih saja berputar-putar cepat dan
bergantian. Semuanya, kenangannya dengan Shilla, takkan pernah terlupakan,
sekalipun Alvin telah tiada nantinya. Karena Alvin... mencintai Shilla.
Sederhana.
“Shilla... Aku mencintaimu.”
Nafas Alvin tercekat. Namun, tidak begitu
lama, karena setelahnya ia tersenyum tulus. Ia tahu apa yang akan terjadi
selanjutnya.
“Aku... bahagia saat—”
DORRR
Alvin masih dengan senyumnya, “—bersamamu.”
“Maaf.”
Tubuh Shilla benar-benar gemetar. Rasa takut,
sedih, kecewa, marah dan kehilangan
semua berpadu menjadi sebuah guncangan besar dalam hatinya. Memporak-porandakan
semuanya hingga ke ulu hati. Dan napasnya terasa sesak, seolah ada palu godam
yang menghantam dadanya.
“Aku juga mencintaimu.”
Tangan dengan bercak darah itu melingkar erat
di tubuh Alvin. Seolah tak mau sedikitpun kehilangan sosok dalam rengkuhannya.
“Aku juga bahagia saat bersamamu.”
Dan pada akhirnya tubuhnya terduduk lemah, rengkuhannya
merenggang. Membuat raga dalam rengkuhan rapuh itu terjatuh tepat di
pangkuannya. Pistol dalam genggamannya terjatuh begitu saja.
Lelaki paruh baya yang sedari tadi berdiri
menghadap jendela, menatap putrinya dengan cepat. Seulas senyum kemenangan
terpatri jelas pada wajah yang mulai terlihat keriput —meski begitu tetap
tampan.
“Anak pintar.” Ia menoleh kearah pintu dan
menyeringai pada dua bodyguardnya. “Bawa dia ke hadapan Ayahnya. Sekarang!”
Lantas setelahnya pergi meninggalkan sang putri yang terkulai lemas.
Suara dentuman itu masih terdengar sangat
jelas di telinga Shilla. Pergerakan pelatuk yang ia timbulkan masih terasa
sangat nyata di sela-sela jarinya. Tubuh Alvin yang tak berdaya kala
merengkuhnya masih terasa hangat dalam hatinya yang kacau. Semuanya... Shilla
merasa semuanya masih melingkupi hidupnya. Alvin dengan senyumnya,
perhatiannya, kasih sayangnya dan tentunya... cintanya.
Shilla mendongakkan wajahnya. Menatap
langit-langit ruangan yang terasa ingin runtuh di matanya, seolah siap menimpa
tubuhnya kapanpun itu. Senyum yang terlihat miris itu terkulum. Dalam manik
coklat gelapnya, ia melihat Ibunya yang tengah tersenyum pada dirinya di masa
lalu. Mengusap lembut rambutnya yang menguarkan aroma strawberry khas
anak-anak.
“Setelah ini, Shilla harus patuh pada Ayah.
Mengerti?”
Kedua mata itu terpejam keras-keras,
menimbulkan kerutan yang terlihat menyimpan sejuta rasa sakit di sana.
Sementara suara lembut Ibunya menggema terus-menerus dalam telinganya.
Dia melakukan hal yang benar, bukan? Patuh
pada Ayahnya, sekalipun
diperintah untuk bunuh diri, tetap harus melakukannya. Begitu, kan? Sekarang ia
benar-benar telah mematuhi keinginan Ayahnya dan mengenyahkan hasrat untuk
menolak.
Matanya Shilla terbuka setelah terpejam cukup
lama, menatap nanar pada pistol yang tergeletak di atas marmer putih dengan
bercak darah menempel disana.
Tugasnya telah selesai.
TES
SRET
Setetes air mata lolos begitu saja dari mata
Shilla, dengan cepat melintas diatas pipinya. Dan secepat itu juga, Shilla
menyekanya kasar. Jangan pernah menjadi gadis cengeng, perintah Ayahnya
benar-benar melekat dalam otaknya. Shilla benar-benar tumbuh menjadi gadis yang
pantang dengan air mata.
Sekalipun ingin menangis, Shilla akan menangis
dalam hati.
***
“Alvin Jeremy sungguhan meninggal?”
“Ini tidak dapat dipercaya.”
“Pemakamannya dilaksanakan kemarin.”
“Hiks. Aku ingin menangis.”
Suara-suara itu masih berlanjut pada topik
yang sama. Kematian putra tunggal Tuan Jeremy benar-benar menjadi obrolan
hangat di kampus pagi itu. Berita itu tersebar hingga ke setiap penjuru kampus,
semua orang membicarakannya. Dan pagi itu, suasana kampus kelam, dirundung
duka.
Mungkin, hanya ada seorang gadis yang tak
membahas apapun tentang kematian Putra Tuan Jeremy yang terhormat itu. Dia
lebih mengasingkan diri dibalik buku setebal 3 cm sejak pagi tadi. Sayangnya,
tak ada yang tahu bahwa telinganya mendengarkan dengan serius apapun yang
tertangkap telinganya. Dia tak hanya membaca,
tapi juga mencuri dengar, seandainya mereka tahu.
Tidak terasa buku yang ia baca telah selesai.
Gadis itu menghela napas, lantas matanya beralih menatap arlojinya. Sudah
waktunya pergi. Ia menutup bukunya, nampaknya besok dia harus meminjam buku
yang baru.
Gadis itu mulai berdiri, mengakhiri kegiatan
membacanya juga mencuri dengarnya.
Ini sama seperti membaca buku. Jika telah
sampai di lembar terakhir, sejatinya kita akan menggantinya dengan buku lain
dan membuka lembar baru. Sama seperti kisah ini, ketika kisah ini telah mencapai lembar terakhir, membuka lembar baru sesungguhnya lebih
baik. Jangan lagi menoleh ke belakang, karena tujuan kita adalah kedepan.
Shilla menghembuskan napas dengan kasar
bersamaan dengan rasa sakit yang menguap dan bercampur dengan udara di sekitarnya.
Kisah ini telah berakhir.
***
KLIK
Televisi flat itu menampakkan layar yang kian
menghitam. Ray melirik teman-teman disampingnya. Keningnya mengkerut mendapati
keadaan teman-temannya yang terlihat mengenaskan di matanya.
“Kalian nangis?”
Keke, temannya yang tengah mengelap lubang
hidungnya dengan tissue menoleh sebentar, lalu kembali fokus pada kegiatannya
mengelap hidung. “Ini sedih, Ray.”
Ray mencibir pada Keke. Menurutnya ini
berlebihan.
“Apalagi waktu scene Shilla nembak Alvin pas Alvin
bilang ‘Aku mencintaimu’. Itu nyesek, Ray.” Acha, dengan mata
memerah menyahut tanpa menoleh seraya merapikan tempat DVD yang terlihat berantakan.
Ray melongo, kini di tatapinya Ozy, temannya
yang nampak kalem dengan gadgetnya.
“Elo juga nangis, Zy?”
“Enggak.”
Ray menghembuskan napas lega, setidaknya masih
ada temannya yang tidak menjijikkan dan berlebihan —menurutnya.
“Tapi gua tersentuh sama tokoh Alvin
Jeremy-nya.”
Apa? Ray melongo setelah mendengus dan
mencibir. Ternyata Ozy sama saja.
“Gue mau ke toilet dulu.”
Semuanya menggangguk acuh, tampak tidak peduli
dengan Ray. Apapun yang akan Ray lakukan dirumahnya sendiri, itu bukan suatu
masalah bagi mereka. Lain lagi jika ini bukan rumah Ray, Ozy pasti akan
mengekori Ray. Bersahabat dengan Ray membuat mereka mengenal Ray yang tidak
bisa diam.
Izin ke toilet tentu saja alibinya untuk
menutupi sesuatu. Ia merasa aneh dengan dirinya. Sejujurnya, sejak ia mematikan
Televisi di kamarnya, ia sudah merasa matanya memanas. Awalnya, ia kira itu
bukan apa-apa. Sampai pada akhirnya, matanya yang memanas kian memburam oleh
sesuatu yang menggenang di pelupuk matanya. Ray merasa risih dengan matanya.
TES
“AISH! KENAPA GUE JUGA NANGIS?!”
***
This don't copyright by me. Please appreciate the author. Thank you
0 comments:
Post a Comment